MENATAP AIR TERJUN SIJAHA DARI DEKAT

(Sebuah Catatan Ekspedisi)



Air terjun Sijaha? Apa ada? Begitulah kira-kira pertanyaan saya manakala beberapa siswa saya di MIS Sawangan lulusan tahun 2000 mengajak saya mengadakan semacam reuni. Pilihan acara akhirnya jatuh pada jalan-jalan menyusuri hutan belantara ke Dukuh Sijaha Desa Bedagung Kecamatan Paninggaran via jalur selatan.

Akhirnya, dimulailah perjalanan itu pada 29 Juli 2002 pagi hari. Rombongan terdiri dari (kalau tidak salah) 16 alumni, saya sebagai ketua tim didampingi Mad Alim, Untung, dan Yaskur yang menyusul kemudian. Berangkat dari Desa Sawangan terus naik ke perbukitan dan pegunungan pinus, sepanjang perjalanan nyaris disuguhi panorama alam dengan keindahan yang tiada taranya. Jalur setapak dengan dominasi jurang dalam di kanan-kiri jalan menuntut konsentrasi lebih sedangkan matahari lebih sering tertutup rimbunnya pepohonan pinus.

Semakin masuk ke dalam hutan, nyanyian burung dengan aneka irama dan intonasi bersahutan bagai paduan suara, seakan menyambut kami. Pohon-pohon galar dari berbagai ukuran berdiri dengan gagahnya. Di beberapa dahan pohon yang agak tinggi, tersembul anggrek dengan bunga putih cantik yang menantang saya untuk memanjat naik dan membawanya pulang. Sayang, saya tak bisa memenuhi tantangannya. Selain mesti menghemat tenaga, saya juga malu pada anak-anak karena dalam briefing singkat sebelum berangkat saya sudah menekankan untuk menjaga kelestarian alam dengan tidak membawa pulang tanaman hutan.
 

Beberapa kali rombongan terpaksa beristirahat untuk sekedar menghimpun oksigen untuk membantu napas yang tersengal-sengal. Di bukit yang entah keberapa, bekal air nyaris habis. Beruntunglah tak lama kemudian kami menemukan anak sungai. Bagai musafir tersesat menemukan oase di padang pasir, kami tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Yang pertama, tentu saja, kami membasuh muka. Kesegarannya segera terasa. Botol-botol plastik minuman pun segera terisi penuh dengan air murni pegunungan. Saking dinginnya, bagian luar botol plastik langsung mengembun bagai baru dikeluarkan dari kulkas.
 

Beberapa tikungan selepas anak sungai, terhamparlah anugerah alam: air terjun. Tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja menakjubkan bagi saya. Inilah air terjun pertama di Kecamatan Paninggaran yang saya jumpai. Tak jauh dari air terjun pertama, yang saya sebut sebagai anak air terjun; di balik rimbunan pohon pinus yang menjulang rapat, air terjun yang lebih besar segera menyapa kami. Sayangnya, tiada jalan setapak pun yang saya lihat untuk dapat menjangkaunya. Titik jatuhnya pun tak terlihat karena jauh di kedalaman jurang. Sayangnya (lagi) kamera yang saya bawa hanyalah kamera saku tanpa fasilitas zoom sehingga hanya sempat mengabadikannya dari kejauhan. Oh ya, saat itu juga belum musim HP jadi tak bisa menyimpan momen istimewa itu dalam format video.


Tiba di Tujuan
Menjelang siang, kami tiba di Sijaha. Tepatnya di pertigaan di samping gubuk kecil (gubuk itu sekarang sudah tidak ada). Setelah
silaturahim dengan tokoh masyarakat, kami segera mendirikan 2 tenda di dekat gubuk tadi. Untuk komunikasi ini tidak ada hambatan berarti karena Desa Sawangan dan Bedagung memiliki keterikatan sejarah. Dan dimulailah babak dua perjalanan kami, yang sesungguhnya menjadi babak utama.



Sijaha adalah dukuh bagian dari Desa Bedagung. Kalau mengambil rute dari Desa Tenogo, pintu masuk Bedagung tepat di depan tempat penampungan getah. Sampai di pertigaan Bedagung, sebelah kiri jalan menuju ke pusat desa sedangkan jalur lurus menuju ke Sijaha dengan dominasi jalan (bekas) beraspal. Di beberapa bagian tak ada bekas aspal sama sekali dan hanya menyisakan batu-batu yang tak lagi tertata rapi. Patut dicoba bagi pengendara motor yang bernyali lebih dan butuh tantangan. Bagi yang baru saja bisa (atau malah sedang berlatih) mengendarai sepeda motor, sebaiknya menghindari jalur ini. Kalaupun terpaksa, sebaiknya membawa teman yang sudah mahir ber-zigzag di atas kuda besi. Juga tali dan pikulan untuk berjaga-jaga.
 

Dalam perjalanan ke Sijaha selanjutnya, saya mendapati fakta menarik. Sebagai dukuh yang agak terpencil, disamping Dukuh Bulupitu, anak-anak dari Sijaha justru menjadi tulang punggung SD Negeri Bedagung. Padahal, untuk sampai ke SD, jalan berbatu beberapa kilometer mesti ditempuh anak-anak Sijaha. Tak heran kalau pada musim hujan, tingkat kehadiran siswa di SD tunggal di Desa Bedagung ini bisa menurun drastis. Tingkat usia kala masuk SD pun tak bisa disamakan dengan wilayah lain karena terkadang orang tua belum tega melepas anaknya yang masih kecil untuk menempuh jalur berat itu. Saya hanya bisa membayangkan keseharian anak-anak itu menyusuri jalan untuk menuntut ilmu dengan segala keterbatasan.
 

Pada pertengahan 2009, dalam sebuah kesempatan saya sempat berbincang dengan Kepala Desa Bedagung, Bp. Casdi. Menurut Beliau, salah satu solusi masalah kependidikan itu adalah dengan mendirikan SD mini di Sijaha. Mungkin seperti SDN 02 Kaliboja di Dukuh Silemud Desa Kaliboja yang pada awalnya berupa SD mini dimana hanya terdiri dari kelas 1 sampai 3 dan kemudian siswanya melanjutkan studi di SDN 01 Kaliboja. Pada mulanya, saya langsung sependapat dengan pemikiran itu. Tetapi, pandangan berbeda disampaikan oleh Kepala SDN Bedagung, Bp. Masturi, yang sempat berbincang-bincang di sebuah kesempatan di kantor SD tersebut, pada akhir 2009. Meski secara prinsip mengamini kalau pembangunan SD mini akan berpeluang meningkatkan animo dan tingkat partisipasi masyarakat atas pendidikan di Sijaha, Beliau juga menyampaikan efek domino dari pemikiran itu. Karena jumlahnya cukup besar, adanya SD mini di Sijaha secara langsung akan mempengaruhi jumlah siswa SDN Bedagung. Dalam terjemahan saya, SDN Bedagung bisa gulung tikar karena minimnya siswa.
 

Lantas, saya berfikir ulang, bagaimana kalau dengan memperbaiki infrastruktur jalan? Logikanya, kalau jalannya baik seperti jalur Paninggaran-Krandegan (tidak harus semulus jalan depan Pasar Paninggaran), sepertinya akan mendorong tumbuhnya minat kepemilikan sepeda motor. (Sebagai catatan tambahan, saat itu, informasi dari tokoh masyarakat Sijaha, nyaris tidak ada generasi muda setempat yang merantau ke luar dukuh karena sibuk beraktifitas tani dan ternak. Bangunan rumah pun tak sedikit yang permanen dengan desain bagus dan fasilitas standar. Secara harfiah bisa dijadikan tolak ukur tingkat kesejahteraan masyarakatnya meski memerlukan data yang lebih akurat). Artinya, manakala jalan telah bagus, barangkali minat masyarakat untuk memiliki sepeda motor akan meningkat sehingga akan mempermudah urusan anak-anak di sana untuk bersekolah. Atau mungkin mencadi pemacu dan pemicu tumbuh dan berkembangnya usaha transportasi lokal lainnya. Ah, urusan ini sepertinya lebih tepat kalau pemerintah daerah yang menjawab. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa terbaca oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Malam Hari di Sijaha
Malam harinya, kami menghangatkan badan dengan membuat api unggun mini. Tak ketinggalan, seekor ayam kampung disembelih untuk menyempurnakan acara. Pemuda Sijaha pun tak mau ketinggalan dengan melakukan hal serupa di lokasi. Hmmmm, aroma ayam bakar serasa masih tercium....
 

Sesaat setelah kegiatan usai, barulah terasa malam yang sesungguhnya di Sijaha. Irama jangkrik dan aneka binatang malam terdengar sangat jelas di telinga. Desiran daun pinus tertiup angin yang mengalunkan nada khas makin melengkapi malam. Di atas sana, rembulan memancarkan sinar redupnya dengan lembut. Setelah lelah bercanda, kami terlelap dalam dekapan malam. Malam yang hening dan sunyi dalam taburan bintang gemerlap. Sungguh elok nian ciptaan Allah SWT.
Pagi Hari di Sijaha.
Pagi buta, kami menjajal ketahanan kulit untuk berwudu di masjid untuk menunaikan Salat Subuh. Masya Allah, dinginnya. Brrrrrr......
 

Kalau mau dibandingkan, sesungguhnya masih kalah dingin dengan air wudhu di Batur, tak jauh dari Dieng. Kala itu, saya mengikuti kegiatan Gladi Fisik Mental (GFM) di SMK Muhammadiyah Kota Pekalongan sebagai ritual wajib bagi calon pengurus OSIS. Berangkat dari kampus setelah dilepas kepala sekolah sekitar jam 8 malam, menuju Kecamatan Bandar Kabupaten Batang menyusuri jalur Warungasem dan Wonotunggal dengan berjalan kaki. Dari Bandar, perjalanan diteruskan ke Kambangan untuk selanjutnya transit di Batur. 

Menginap di kawasan Batur, yang sayangnya saya tidak tahu lokasi tepatnya, saya berkesempatan menjajal air wudhu untuk Salat Subuh di sana. Allahu Akbar. Saya tak berani menyiramkan air ke muka saking dinginnya, seperti wudhu biasanya. Keramik masjid pun laksana balok-balok es. Dingin banget. Konon, bagi pendatang seperti saya, makan kacang rebus yang masih kemebul pun tak terasa panas. Efek panasnya baru akan terasa di rumah. Bibir pun (Insya Allah) ndower.
 

Bakda salat, olahraga menjadi menu selanjutnya. Setelah pemanasan di sekitar tenda, kami menuju lapangan yang eksotis karena terkepung hamparan pinus. Silahkan lihat fotonya.



 

Menjelang siang, kami sempatkan berkeliling untuk melihat panorama alam Sijaha. Melalui jalan yang lumayan lebar di atas desa, saya bisa melihat Sijaha seutuhnya. Di utara Sijaha, melewati sungai, terlihat perbukitan pinus. Kelokan jalan yang mengular menarik perhatian saya. Saya bidikkan kamera ke hutan perawan itu, dan jadilah fotonya. 

Buat teman-teman yang penasaran lokasi foto itu, sudah terjawab ’kan pertanyaannya sekarang?
 

Sayonara, Sijaha.....
Bagi saya, perjalanan via jalur Selatan ke Sijaha itu adalah reuni. Beberapa waktu sebelumnya, tim
DKR Paninggaran menyelenggarakan bakti sosial di Sijaha dengan aksi pengecatan masjid. Dengan membawa lima kaleng cat, tim berjalan kaki via jalur Desa Tenogo. Sayangnya, tinggal beberapa orang, termasuk saya, yang masih bertahan di dunia kepanduan ini. Lainnya, tersebar di beberapa pelosok Nusantara. (Ichya di ibukota negara: masih ingat perjalanan itu? Yenny, Diah: gimana kabarnya? Soepri kini jadi penguasa jalanan Paninggaran, lho! Siapa yang dulu mematahkan kursi panjang shohibul bait yang untuk tidur?) Tapi, yah...... hidup tak berjalan mundur, ’kan? Meski tak lagi bersama, dan kini telah disibukkan dengan aktivitas masing-masing, kebersamaan itu pernah dituliskan dalam sejarah DKR Paninggaran. Buat alumnus acara bakti sosial itu, mudah-mudahan masih ingat. Kalau ada yang nyimpen fotonya, kirim ke sini ya? Mudah-mudahan (pula) tulisan ini bisa menjadi catatan bagi pengurus DKR sekarang. Karena, seingat saya, sejak saat itu, belum ada acara sejenis yang digelar. Siapa tahu langsung termotivasi untuk menyelenggarakan yang lebih besar. Siapa tahu, ya, Mas Ketua?
 

Oke, deh, kayaknya sudah lumayan panjang tulisan ini. Semoga ada hal-hal positif yang bisa diambil. Salam hangat untuk semuanya. Juga untuk keluarga besar MIS Sawangan, termasuk untuk ”dosen” barunya yang masih seger dari perguruan tinggi di Semarang, yang menjadi penggagas reuni di Sijaha tersebut. Sudah siap, ’kan, untuk melanjutkan tugas mulia ini? Jangan kaget kalau lihat fotonya yang masih culun. Beberapa foto masih tersimpan rapi. Tapi ya....masih culun juga. (He...he...he...)
 

Tiada kata seindah do’a. Selamat beraktivitas....... 

*****

Dipublikasikan perdana di Blog SD Negeri Tanggeran pada 10 Juni 2010

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home