DIBALIK TANGIS SYAFRUDIN, GURU HONORER MTsN 1 KOTA BIMA

Terlihat menahan tangis, Syafrudin, Guru Honorer MTs Negeri 1 Kota Bima Nusa Tenggara Barat itu menelungkupkan wajah di tepi meja berbantalkan kedua tangannya. Entah menyembunyikan tangis atau berlindung dari sorot kamera wartawan, atau kedua-duanya, gambar itu menjadi penutup video berdurasi tiga menit satu detik tersebut. Bercampur aduk rasa di dada kala memutar ulang video yang saya download dari liputan6 tv itu sebelum akhirnya saya menerawang jauh. Mencoba berkelana ke titik awal peristiwa itu, hadir di ruang kelas dan menjadi Syafrudin.


Sebagaimana diberitakan Yahoo News yang mengutip Liputan6.com, Sabtu pekan lalu, Khalid atas perintah Syahbudin, ayahnya, memukul Syafrudin gurunya sendiri. Pemukulan guru oleh murid ini terjadi di depan puluhan murid lain, sejumlah guru, dan tiga orang polisi. Syahbudin murka karena anaknya mengadu telah dipukul Syafrudin sehari sebelumnya. Sedangkan situs gomong.com mendeskripsikan kronologis peristiwa itu lebih detil:

Aksi ini bermula dari pemukulan yang dilakukan Syafrudin terhadap siswa bernama Muhammad Andi Khairil Awalin. Pemukulan ini tidak bisa diterima oleh Syahbuddin, ayah dari siswa tersebut. Syahbuddin kemudian melakukan pembalasan dengan cara memukul guru tersebut di depan ruang kelas dihadapan guru, polisi dan siswa. Lebih hebat lagi, Syahbuddin memaksa anaknya untuk melakukan rekonstruksi pemukulan. Akhirnya Khairil memukul gurunya seperti yang dilakukan Syafruddin terhadap dirinya. MTsN 1 Kota Bima bukannya melakukan pembelaan terhadap Syafruddin, malah guru honorer ini dipecat dari sekolah.

Guru: Masih Digugu lan Ditiru
Guru, dalam terminologi Bahasa Jawa dikenal sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Digugu berarti didengarkan/dipatuhi (ucapannya) sedangkan ditiru artinya dicontoh/diteladani (perilakunya). Dalam artikel Guru: Masih Digugu lan Ditiru yang dimuat di situs LPMP Jawa Tengah dan kemudian saya publikasikan kembali di Blog SD Negeri Tanggeran, saya mencoba menggambarkan sosok tersebut:

Digugu lan ditiru, itulah label yang dilekatkan padanya. Sosok yang digambarkan selalu mengajarkan norma dan nilai kebaikan serta menjadi penjaga gawang dalam pendidikan murid-muridnya. Juga wakil dari orang tua di sekolah. Kepadanyalah dititipkan harapan, diamanatkan segudang impian, dan tentu saja, disematkan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

(Artikel lengkap pada kedua situs tersebut bisa dibaca DI SINI dan DI SINI).

Terlepas dari apa yang sesungguhnya terjadi di sekolah itu, ada tiga hal yang menurut saya patut untuk digarisbawahi.

Pertama, hubungan guru dan murid

Guru, yang disebut sebagai pendidik dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 1 Undang-undang tersebut diartikan sebagai tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan sedangkan murid disebut sebagai peserta didik, yang bermakna anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Menurut Zakiah Darajat, seperti dikutip Muhammad Nurdin, sebagaimana ditulis dalam situs duniabaca, “Guru adalah pendidik profesional karena secara implisit ia telah memperoleh pendidikan profesi guru dan merelakan dirinya, menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikulkan oleh para orang tua. Para orang tua tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah berarti telah melimpahkan pendidikan anaknya kepada guru. Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka tidak mungkin menyerahkan anaknya ke sembarang guru, karena tidak sembarang orang menjadi guru.”

Hubungan yang terjalin antara guru dan murid lebih populer disebut sebagai interaksi edukatif. Menurut situs UNS, proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma. Semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan. (lebih lanjut tentang interaksi edukatif dapat dibaca DI SINI).

Sebagaimana diwartakan situs gomong.com, peristiwa tersebut bermula dari pemukulan yang dilakukan sang guru, Syafrudin, terhadap Muhammad Andi Khairil Awalin, muridnya. Apapun kesalahan Khairil, menurut saya, pemukulan Syafrudin terhadap muridnya itu tetap tak bisa dibenarkan. Pemberian hukuman oleh guru terhadap murid mestinya tetap dan selalu dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat dan bertujuan mendidik.

Menurut situs tik-learning.com, seorang guru harus mampu mencari dan mendayagunakan berbagai metode agar yang akan menciptakan cara-cara mendidik yang efektif, menyenangkan dan manusiawi. Jika dengan berbagai cara tidak berhasil, penjatuhan hukuman pun hrus dilakukan dengan sangat hati-hati. Mengutip pendapat Dr. Charles Schaefer (1994), situs tersebut mengulas 13 prinsip memberikan hukuman kepada siswa. Selengkapnya bisa dibaca DI SINI.

Kedua, hubungan guru dan wali murid

Sejak bangku sekolah dasar, siswa didoktrin bahwa guru adalah orang tua di sekolah. Dalam posisi sederajat, dengan kapasitas masing-masing, kemitraan guru dan wali murid akan mempermudah upaya-upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, hubungan harmonis keduanya juga akan memicu rasa nyaman pada diri siswa.

Dalam Kode Etik Guru, pada pasal 6 Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Murid terdapat poin-poin penjelas sebagai berikut: a) Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses pendidikan, b) Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik, c) Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya, d) Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpartisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan, e) Guru bekomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya, f) Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasi denganya berkaitan dengan kesejahteraan, kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan, dan g) Guru tidak melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

Saya tidak tahu pasti penyebab ledakan amarah Syahbudin, sang wali murid. Apakah murni karena pemukulan guru atas anaknya, terulangnya peristiwa sebelumnya, ataukah sebab lainnya. Tetapi, sekali lagi, andaikata pemukulan sang guru terhadap muridnya benar terjadi, tak bisakah upaya penyelesaian secara baik-baik diutamakan? Selain sang guru yang terlihat berada di sekolah dan bukannya lari, di depan ruang telah berjaga dengan gagahnya tiga polisi terhadap segala kemungkinan (yang sayangnya masih saja berjaga dan tak kunjung melerai kala suasana semakin memanas).

Di sebuah SD di wilayah saya, beberapa tahun silam, peristiwa sama tapi tak serupa terjadi. Berawal dari saling ejek antara seorang siswa dan siswi kelas 6, sebut saja Ani dan Andi, Ani pun menangis. Bergegas pulang kala istirahat ke rumahnya yang tak jauh dari sekolah, Ani pun mengadu pada ayahnya. Entah dengan bahasa apa Ani bicara pada ayahnya, dalam hitungan menit sang ayah menuju ke SD. Karena waktunya istirahat, semua guru tengah berkumpul di kantor dan secara kebetulan tak satu pun yang melihat ayah Ani menyelinap ke kantin di belakang SD, menemui Andi yang sedang menikmati minuman bersama teman-temannya. Dari cerita teman-temannya yang saya himpun kemudian, ayah Ani “menghadiahi” Andi dengan dua tamparan di pipi kiri dan kanan untuk kemudian merebut gelas minuman yang sedang Andi pegang dan….byurrrr….menumpahkan isinya ke muka Andi. Meski tak berada di lokasi, saya meyakini kalau muka Andi bukan hanya basah kuyup tetapi juga memerah oleh tamparan sekaligus malu yang menderanya.

Beberapa saat kemudian, kala jam pelajaran telah kembali normal dan beritanya telah sampai kepada para guru, saya pun menunaikan salah satu tugas guru PAI sebagai “pemadam kebakaran”. Sebagai satu-satunya guru kelahiran desa setempat, saya paham betul kemungkinan yang akan terjadi kalau keluarga dan saudara Andi sampai mengetahui musibah yang menimpa Andi. Sebaliknya, berurusan dengan ayah Ani yang saya tahu betul karakternya, juga bukan perkara kecil. Mendamaikan keduanya sembari memberikan pelajaran panjang lebar tentang toleransi dan ukhuwah islamiyah di kelas saya pilih sebagai jalan tengah. Dan alhamdulillah, sampai keduanya lulus, saya tak mendengar peristiwa serupa terulang kembali.

Ketiga, hubungan guru dan guru lainnya (termasuk kepala sekolah)

Masih segar dalam ingatan saya kala masa-masa awal saya menjalani tugas sebagai guru tidak tetap (GTT) atau di tempat tinggal saya lebih populer disebut sebagai guru WB (singkatan dari Wiyata Bhakti) alias guru pengabdian. Satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah adanya bentangan jarak antara GTT, selanjutnya saya sebut guru non-PNS, dengan guru PNS. Tak semua, memang. Tetapi, berdasarkan pengalaman pribadi dan dari jalinan komunikasi, sebagian besar rekan-rekan guru non-PNS yang bertugas di sekolah negeri membenarkan hal tersebut. Penyebabnya bisa beragam mulai dari kehadiran guru non PNS yang tidak dikehendaki oleh guru PNS sampai masih suburnya persepsi keliru bahwa karena masih dalam taraf pengabdian, guru non-PNS mesti bekerja lebih rajin dan lebih keras dibandingkan guru PNS yang lebih senior dari sisi usia dan masa kerja. Pada saat yang bersamaan, persepsi tersebut menimbulkan efek samping: kecemburuan sosial.

Di forum lomba blog yang diselenggarakan oleh BPTIKP Jawa Tengah pertengahan September 2011 kemarin, sebuah pembenaran atas hal tersebut kembali saya jumpai. Dalam acara yang mempertemukan 35 admin blog sekolah jenjang Dikdas se-Jawa Tengah yang lolos ke tahap dua, seorang admin blog muda menceritakan kisah pilunya. Dalam perbincangan santai di ruang tamu tempat kami menginap, admin blog sebuah sekolah di sebuah kabupaten wilayah Barat Jawa Tengah itu menuturkan kalau di sekolahnya, dia bukan hanya dipandang sebelah mata malah seringkali tidak dipandang alias (meminjam istilah anak muda) nggak dianggap.

“Di tempat saya, Guru non-PNS menempati kasta terendah” tutur guru energik tersebut. Meski kurang setuju dengan istilah kasta terendah, Insya Allah saya memahami betul pesan yang ingin disampaikan. Di akhir perbincangan, saya menyampaikan teori yang selama ini saya anut bahwa semiring apapun anggapan orang (baca: guru PNS) tentang guru non PNS, jangan biarkan hal itu mengganggu atau bahkan merusak semangat dan kinerja. Dalam bahasa Penelitian Kuantitatif, saya sampaikan sebuah hipotesis: Fakta absolut yang membedakan guru PNS dan non PNS adalah nominal gaji. Lainnya, semisal kinerja, kemampuan, dan prestasi kerja, sangat tergantung dari kemauan, bukannya status kepegawaian.

Pada tataran hubungan harmonis antarguru dan antara guru dengan kepala sekolah, pola kepemimpinan kepala sekolah, menurut saya, memberikan andil yang tidak kecil. Figur kepala sekolah akan sangat mempengaruhi penciptaan iklim kerja yang kondusif, lentur terhadap ide dan kritik, dan kaya akan nuansa kekeluargan. Peran vital kepala sekolah bukan hanya bagaimana ia mampu menahkodai seluruh warga sekolah dalam mencapai dermaga tujuan sebagaimana tercermin dalam visi dan misi sekolah serta mengoptimalkan segenap sumber daya yang dimilikinya, namun juga dalam mengelola konflik.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah menegaskan bahwa kepala sekolah mesti memiliki kemampuan lebih dalam Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi, Sosial. Dalam dimensi kepribadian, kompetensi yang diharapkan dimiliki kepala sekolah antara lain Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah dan Mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah madrasah. Dalam dimensi Manajerial, kompetensi yang dituntut adalah Menciptakan budaya dan iklim sekolah/ madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik sedangkan salah satu kompetensi dalam dimensi kompetensi sosial yaitu memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.

Dalam video kasus Syafrudin, adegan awal terlihat terjadi di kantor atau ruang guru. Kecuali Syafrudin yang tampak duduk, beberapa sosok yang terekam kamera terlihat berdiri. Sempat menangkap gambar angkat meja oleh Syahbuddin, ayah Muhammad Andi Khairil Awalin, yang didahului adu mulut, kamera berpindah pada Syafrudin yang tampak kesakitan dan menangis. Kecuali saya salah, saya tidak melihat adanya suasana semacam rapat klarifikasi dimana semua pihak duduk rapi dengan kepala sekolah menjadi mediator. Gambar berikutnya, sang guru malang digelandang ke ruang kelas untuk selanjutnya menjadi objek pemukulan dan penghinaan, di depan para siswa dan guru lainnya. Seorang laki-laki, yang saya duga kepala sekolah atau perwakilan sekolah, memberikan komentar mengiringi narasi tanggapan pihak sekolah. Vonis dijatuhkan: Syafrudin akan dinon-aktifkan dalam waktu dekat.

Sebuah kemalangan beruntun. Sudah tak mendapat perlindungan terhadap serangan fisik, hukuman penonaktifan tampak nyata di depan mata.

Semoga tindakan penonaktifan Syafrudin tidak dilandasi oleh pemikiran sempit bahwa beliau hanyalah guru honorer yang belum memiliki Kartu Pegawai/Karpeg dan di baju seragamnya belum tersemat pin KORPRI sehingga belum (layak) memperoleh perlakuan dan perlindungan sebagai abdi negara. Karena, bagi saya, apapun status kepegawaiannya, semua guru memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam berkontribusi turut mencerdaskan anak bangsa sedangkan sebagai warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, setiap guru pun layak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan sebagaimana warga negara lainnya.
Membiarkan sebuah tindakan main hakim sendiri terhadap guru terjadi di sekolah (dan di ruang kelas) yang menjadi tempat diajarkannya aneka norma mulia bukan hanya sebuah pengingkaran atas hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 tetapi, menurut saya, juga merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang kontraproduktif dengan definisi dan tujuan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Melihat tayangan Muhammad Andi Khairil Awalin memukul gurunya, Syafruddin, atas perintah Syahbuddin ayahnya, dengan “doa restu” guru-guru lainnya, di bawah tatap mata siswa lainnya, di ruang kelas yang berjarak ratusan kilometer dari tempat saya menyaksikan video itu, sungguh rasa sakit dan malu yang tak terperi seakan turut saya rasakan. Kalaupun pemukulan yang dilakukan Syafrudin terhadap Muhammad Andi Khairil Awalin sehari sebelumnya benar-benar terjadi, tak bisakah petinggi sekolah mengedepankan asas musyawarah dan praduga tak bersalah serta menjunjung tinggi norma dan etika pendidik yang mengajarkan aneka perilaku terpuji sampai mulut berbusa di ruang-ruang kelas?

Akhirnya, mari kita sikapi tragedi dunia pendidikan tersebut dengan bijak. Kala kecepatan akses informasi dan komunikasi telah menembus sekat ruang dan waktu, semestinya guru pun semakin berhati-hati dalam bersikap, berperilaku, dan memperlakukan murid-muridnya. Sesekali, intiplah sms yang dimuat di kolom suara warga dan tulisan di kolom surat pembaca dalam media cetak atau ruang sejenis di media online. Meski kerapkali baru berbentuk pengaduan yang terkadang masih memerlukan konfirmasi, tulisan sejenis itu menunjukkan betapa mudahnya akses bagi masyarakat pengguna layanan pendidikan dalam menyuarakan aspirasinya.

Semoga kisah pilu Pak Guru Syafrudin dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home