BENAR, KEBENARAN, DAN PEMBENARAN


Di sebuah kompleks kost-kostan, seorang pemuda, sebutlah namanya Danu, menyetel radio dengan volume maksimum. Tetangga kamarnya, sebut saja misalnya Iwan, merasa terganggu. Maka datanglah Iwan ke kamar Danu dan dengan santun meminta Danu untuk mengurangi volume radionya. Di luar dugaan, Danu marah dan dengan nada suara yang tak kalah tinggi dengan volume radionya, Danu memaki: “Radio, radioku. Aku beli dengan uang, uangku sendiri. Kusetel dengan listrik, listriknya kubayar sendiri. Apa urusanmu?”
Lumerlah kesabaran Iwan oleh siraman kata-kata itu. Lalu, Iwan pun menjawab: “Telinga, telingaku. Kalau sakit, aku yang bayar sendiri ongkos obat dan dokternya. Bila karena suara radiomu itu telingaku tuli, memangnya kamu mau membayar ganti rugi?”
Siapa yang benar? Mungkin keduanya benar, karena telah berbicara untuk dan atas nama hak pribadi. Itu kalau hak pribadi diartikan sebagai hak milik yang tak seorang pun bisa mengusiknya dan telah melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Terus, siapa dong, yang salah?
Hak pribadi, hak asasi, atau apapun namanya, mestinya tak bisa dipisahkan begitu saja dari kewajiban pribadi, kewajiban asasi, atau apapun istilahnya. Sebab, bukankah kedua hal itu terletak segaris dan sejajar? Sayangnya, kesejajaran itu acapkali menjadi rancu (tepatnya, dibuat rancu) tatkala kepentingan telah berbicara. Misalnya, ya seperti ilustrasi tadi. Maka muncullah kebenaran-kebenaran versi. Kebenaran versi A, kebenaran versi B, dan kebenaran versi-versi selanjutnya, yang tak lagi mengenal kebenaran dari hakekat kebenaran itu sendiri.
Imbasnya, muncullah pembenaran-pembenaran atas kebenaran versi tersebut. Yang lebih parah, kebenaran kemudian diteropong dari sisi yang menguntungkan dan mendukung pembenaran atas kesalahan-kesalahan itu. Kebenaran lalu menjadi perisai sesaat, parit perlindungan sewaktu darurat, bahan diskusi dan makalah seminar yang berdaya jual tinggi, slogan indah untuk diteorikan dan dibukukan, headline yang mampu mendongkrak oplah surat kabar secara fantastis, dan ….. selesai. Titik.
Mau bukti? Sesekali luangkan waktu sejenak untuk mengamati deretan koran, tabloid, atau majalah yang dipajang di tepi jalan atau di kios-kios agennya. Diantara koran dan tabliod yang berbobot, akan teramat mudah kita temui tabloid-tabloid bercover tubuh-tubuh mulus berbalut busana minim dengan pose-posenya yang teramat aduhai. Dengan harga yang relatif murah, sekitar 5.000,-an, uang saku pelajar SMP pun tak sulit menjangkaunya.
Tidak usahlah bicara pornografi. Tokh kita juga pernah (sangat) lelah mengikuti perdebatan panjang soal definisi pornografi pada kasus-kasus foto seronok beberapa waktu lalu. Tapi mari bicara hak pribadi. Mereka, orang atau orang-orang yang berdiri di belakang penerbitan media cetak semacam itu, punya hak pribadi untuk melakukannya. Alasan pembenarannya? Respon pasar, kepentingan bisnis, hukum yang belum (atau tidak) jelas atauran mainnya, dan sebagainya, adalah deretean alsan yang bisa dikemukakan. Lalu, bagaimana dengan hak pribadi pembaca, yang juga berhak (banget) untuk membaca dan memperoleh informasi yang menyehatkan mata dan menyejukkan hati?
“Ah, itu ‘kan masalah pilihan saja. Semua ‘kan terserah konsumen.” Itu mungkin dalih pembenaran berikutnya, yang kemungkinan besar akan memancing pembenaran-pembenaran baru yang saling berlawanan. Nggak jauh beda ‘kan dengan razia minuman keras di toko-toko yang katanya “TANPA IZIN”, yang seringkali diakhiri dengan pemusnahan ratusan botol barang bukti? Pokok persoalannya, izin menjual (yang untuk mengurusnya pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit) atau menjual itu sendiri? Bagaimana dengan pabriknya, yang terus memproduksi minuman beralkohol yang memabukkan itu, dan jelas-jelas telah diharamkan agama?
Maka, sesungguhnya, bijakkah menyalahkan, menghujat, dan menuduh tak bermoral pada sang gadis belia, yang karena ingin seseksi bintang idola maka ia pun mengenakan busana serba minim, serba ketat, dan serba menonjolkan aurat dan manakala ia ditanya mengapa, ia pun menjawab ringan, “Tubuh, tubuhku. Baju aku beli dengan uang, uangku sendiri. Ini hak asasiku. Apa urusanmu?
Sebaliknya, perlu jugakah menuduh menuduh sok alim, munafik, dan sok suci tatkala pemuda-pemuda yang tengah bersemangat mengikuti pengajian-pengajian di masjid dan mushola, yang sesekali juga menikmati panorama gratis itu, menjawab balik, “Mata, mataku. Hati, hatiku. Aku juga punya hak untuk melihat segala hal positif yang menyehatkan mata dan menyejukkan hati dan bukannya pemandangan yang membuat mataku panas dan hatiku membara serta otakku dipenuhi oleh syaitan-syaitan yang berdansa kegirangan?
Semoga Romadhon yang penuh ampunan ini mampu menyirami dan menyejukkan jiwa kita akan kebenaran yang seringkali tak lagi benar oleh pembenaran-pembenaran semu yang kita lakukan. Semoga. Amin.



Paninggaran, 10 Ramadhan 1423 / 15 November 2002
Jelang tengah malam.


Salam Kreatif!



Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home