HEBOH PR MATEMATIKA SISWA KELAS II SD: SEBUAH PELAJARAN BERHARGA


Pekerjaan Rumah (PR) anak kelas 2 SD kini ramai dibahas di media sosial. Berbagai komentar pun muncul atas PR yang diunggah di facebook oleh akun Muhammad Erfas Maulana.
Dalam PR tersebut, sang kakak Erfas, Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro membantu sang adik mengerjakan PR nya.
"Suatu malam adek saya kelas 2 SD mendapat PR dari gurunya, soal 4+4+4+4+4+4 = x = karena adek saya belom paham maksud dari soal tersebut, akhirnya adek saya bertanya kepada saya,” katanya.

"Mulai lah saya mengajarkan adek saya cara perkalian yang menurut saya lebih mudah dipahami oleh anak kelas 2 SD, 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 24, dengan alasan empatnya ada enam kali. Saat itu saya tidak berpikir posisi angka 4 dan 6, toh hasilnya sama saja, toh soalnya “=….x….=”.”
Namun, Erfas terkejut setelah mendapati adiknya mengatakan nilai yang didapat hanya 20. Adiknya mengatakan cara yang diajarkan Erfas salah.
Atas peristiwa itu, Erfas menyebut terjadi kesalahan saat sang guru mengajari adiknya menjawab soal. (Berita selengkapnya dapat dibaca di Tribunnews).
Bukan hanya masyarakat umum yang berkomentar. Dua profesor ternama pun beradu argumen tentang PR tersebut (selengkapnya bisa dibaca DI SINI). Salah satunya, fisikawan Yohanes Surya,  yang dalam posting di laman resmi Facebook-nya, Selasa (23/9/2014), pria yang menulis buku Matematika Gasing serta Fisika Gasing (Gampang, Asyik, Menyenangkan) itu memberi penjelasan sederhana. (selengkapnya bisa dibaca DI SINI).
Setelah menuai kontroversi, melalui akun facebooknya, Muhammad Erfas Maulana, menulis penjelasan dan penyesalan tentang polemik yang kini menjadi perdebatan para ahli. Erfas menulis, dia sudah mengonfirmasi kepada guru dan meminta maaf.
"sekali lagi saya mohon, jangan ada yang menyalahkan guru karena guru sudah mengajarkan sesuai konsep dan buku yang ada. sang guru juga tidak menyalahkan pendapat saya," tulis pemilik akun yang mengaku sebagai mahasiswa Teknis Mesin Universitas Diponegoro itu, sebagaimana dipublikasikan Yahoo.

NOSTALGIA
Peristiwa itu mengingatkan saya akan peristiwa beberapa tahun silam, saat saya baru magang sebagai guru pengabdian dan mengajar kelas 3 merangkap Guru PAI kelas rendah, di sebuah SD.
Beberapa hari sesudah mengoreksi PR Matematika, saya mengikuti rapat dewan guru dimana Kepala Sekolah yang hari sebelumnya mengikuti rapat rutin tingkat kecamatan, memaparkan hasil rapat tersebut.
Salah satu pesan yang dibawa Kepala Sekolah adalah “Harap guru lebih berhati-hati dalam mengoreksi pekerjaan siswa”, yang membuat konsentrasi saya menulis notulen rapat terhenti. Beberapa rekan guru pun saling pandang. Suasana berubah menjadi sangat tidak nyaman. Butuh waktu beberapa saat bagi saya untuk mencerna, menganalisa, dan pada akhirnya mengacungkan jari untuk menjelaskan duduk persoalannya serta memastikan kepada rekan guru di ruang itu bahwa yang dimaksud dengan “guru” dalam pesan Kepala Sekolah tersebut adalah saya, bukan yang lain. Saya merasa perlu melakukan itu agar suasana tidak nyaman bisa kembali pulih.
Bagaimana saya bisa tahu bahwa “guru” yang dimaksud adalah saya di SD itu sedangkan masih ada 26 SD lainnya? Simpel saja: masalah-masalah sejenis itu tidak akan menghebohkan dunia “persilatan” kalau bukan menyangkut SD unggulan dimana saya mengajar. Kebetulan juga, beberapa saat sebelumnya, saya mendapat bocoran kalau persoalan PR murid saya tersebut sudah sampai “kantor” (begitu istilah populer untuk menyebut UPT Pendidikan).
Kok bisa secepat itu persoalan PR siswa sampai ke kantor? Mungkin pembaca akan menanyakan itu. Jawaban saya: tidak kalau wali murid siswa saya itu orang biasa. Yang luar biasa, untuk tidak menyebutnya di luar prediksi saya, adalah: mengangkat masalah itu menjadi persoalan tingkat kecamatan, dengan menyampaikannya di depan 27 Kepala SD, yang (kemungkinan besar) melanjutkannya di depan rapat dewan guru. Yang saya tidak tahu, apakah pesan itu hanya untuk Kepala Sekolah saya saat itu, atau benar-benar dipublikasikan di depan forum Kepala Sekolah.
Beberapa hari sesudahnya, saya butuh waktu agak lama untuk menenangkan diri. Tak henti-hentinya saya mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri: mengapa saya tidak dikonfirmasi langsung dan justru melapokan hal itu pada pimpinan? Bukankah lebih efektif bila wali murid saya itu meminta saya datang ke rumah, misalnya, atau memarahi saya di kelas? Sebagai wali kelas, rasanya saya bukan guru yang sulit diajak komunikasi.
Mental saya agak drop kala itu. Bukan karena kesalahan yang saya lakukan, tetapi lebih kepada cara penyelesaian masalah itu yang bagi saya sungguh sangat-sangat tidak tepat. Apalagi, belum lama, salah satu rekan guru pengabdian di SD saya itu dibuat menangis oleh seorang tamu yang mencerca guru SD berijazah SMA. (Catatan: periode 2003-2004, di kecamatan saya, guru pengabdian yang berasal dari penduduk lokal didominasi oleh lulusan SMA. Saat itu, menjadi guru pengabdian bukanlah pilihan populer, karena hanya berhonor kisaran Rp 50.000 – Rp 100.000 per bulan. Saya sendiri waktu itu masih kuliah D II di STAIN Pekalongan. Barulah saat terjadi pendataan tenaga honorer pada 2005, yang ternyata menjadi awal pengangkatan CPNS dari jalur honorer pada 2009, minat penduduk lokal untuk menjadi guru mencapai titik puncaknya).

SKOR 1-1
Waktu pun bergulir. Kegiatan Belajar Mengajar pulih seperti semula. Yang belum pulih adalah goresan yang masih tertinggal di hati saya tentang PR Matematika itu.
Sampai suatu ketika, di suatu hari kala saya baru mengawali KBM, si siswa tadi maju dengan menyodorkan buku PR. Dia menyampaikan pesan orang tuanya: “Jawaban PR anak saya betul. Kenapa disalahkan?”
Sontak saya terhenyak. Lagi? 
Saya periksa kembali jawaban yang saya salahkan. Saya kroscek dengan buku soal. Setelah memeriksanya berulang kali, saya tersenyum tipis. Hmmmm.....
Untuk memastikannya, saya meminjam buku PR siswa lainnya. Dan.....EUREKA!
Saya ambil bolpoin merah. Saya tulis di bawah PR anak tadi, kurang lebih: "Mohon maaf, Bu, kali ini, anak ibu yang salah. Jawaban untuk soal yang dia tulis memang benar. Sayangnya, dia salah menyalin soal yang saya tulis di papan tulis. Dan sudah saya periksa, di kelas, hanya dia yang salah menyalin soal. Mohon sampaikan ke anak ibu, lain kali lebih teliti dalam mengerjakan tugas guru. Salam"

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya koordinasi dan komunikasi antara guru dan wali murid. Bilapun wali murid saya tersebut membaca tulisan ini, Insya Allah saya tidak bermaksud buruk. Bagaimanapun, saya manusia biasa. Siswa juga manusia biasa. Begitu juga Ibu. Meski bukan guru, semoga Ibu bisa mengerti, guru juga manusia biasa, yang peluangnya berbuat salah hampir sama. Salam.

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home