MEGENGAN, DUGDEG, DAN PETASAN

Catatan Ramadhan 2016 Hari Ke-2

Saya tidak tahu, mengapa di Semarang disebut Dugder sedangkan di kampung saya, di wilayah Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan, disebut dugdeg. Menurut Wikipedia, dugderan merupakan festival untuk menandai dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadhan yang diadakan di Kota Semarang. Kalau di kampung saya, mungkin dulunya juga festival. Namun sejak saya kecil, saya tidak melihat semacam festival dalam persiapan sebelum puasa Ramadhan.

Yang saya tahu, begitu esok hari dipastikan hari pertama puasa Ramadhan, hari itu jugalah bedug mulai boleh ditabuh. Sepanjang  hari. Seakan mengumandangkan pengumuman melalui bunyi-bunyian bahwa esok hari Bulan Penuh Rahmat itu akan datang.

Bersamaan dengan dugdeg, digelarlah upacara penutupan bernama megengan. Bentuknya? Aneka rupa. Pesan moralnya hampir sama: "Karena besok sudah mulai puasa, maka mari kita puas-puaskan hari ini. Besok tak lagi bisa makan di siang hari, maka ayo kita puaskan makan hari ini". Maka wajarlah kalau di hari megengan itu, banyak terlihat arus rombongan: keluarga, kolega, rekan sekampung, dan banyak lagi. Tak terkecuali makam alias kuburan, yang juga terlihat ramai karena sirkulasi orang ziarah.

Ada lagikah tempat yang ramai? Ada. Pasar tradisional biasanya juga ramai dengan pembeli yang sibuk mempersiapkan belanja untuk menu sahur pertama. Dan 1 lagi: tempat wisata. Para boncenger muda mudi biasanya juga turut meramaikan megengan dengan memenuhi setiap jengkal tempat wisata. Hari penghabisan sekaligus perpisahan sebelum Ramadhan? Entahlah. Karena biasanya, hari-hari Ramadhan berikutnya pun para kontestan dan finalis megengan juga masih datang ke tempat yang sama.

Lantas, apa sih sebenernya megengan itu? Menurut Cak Mamad: megengan yang asal katanya megeng atau nahan, yang berarti (sebenarnya) mengingatkan kita bahwa sebentar lagi mau memasuki Bulan Ramadhan. Dalam acara megengan juga diwarnai dengan acara syukuran, dengan membagi-bagi makanan, terutama kue apem. Kue apem sebenarnya adalah ungkapan dari rasa permintaan maaf secara tidak langsung kepada para tetangga kita. Apem asal katanya adalah afwum yang artinya meminta maaf.

He....he..... ternyata lumayan jauh dari makna aslinya ya? 

Dan inilah bintang utama Ramadhan: petasan, atau lebih populer disebut sebagai mercon di kampung saya. 

Ritual lainnya sebagai penanda Ramadhan adalah petasan. Saya tidak tahu kapan tepatnya tradisi ini mulai marak karena dulu sampai saya remaja, bunyi-bunyian yang paling akrab adalah dlung-dlungan, yang dibuat seperti bentuk meriam dari bambu betung.

Kok bintang utama? Yup, karena nyaris sepanjang bulan, petasanlah yang bertahan dengan stamina yang luar biasa. Dengan beragam bentuk, harga, dan suaranya, petasan menjadi penjaga sesungguhnya Bulan Ramadhan. Tak kenal waktu: pagi, siang, bahkan malam saat Salat Tarawih sedang ditunaikan. Meski tak selamanya benar, bunyi petasan kerapkali menggambarkan harganya. Juga mewakilkan kelas sosial pemiliknya. Semakin nyaring, biasanya harganya semakin mahal.

Dari kualitas suaranya juga, mercon ini bisa menjadi penanda usia sang penyulutnya. Mercon kelas cabai rawit, yang hanya mengelurkan suara kejut kelas amatir, bisa dipastikan hanya anak-anaklah yang menyulutnya. Mulai ukuran bola kasti atau setara kepalan tangan orang dewasa, suara mercon sudah tidak ramah lagi di telinga. Apalagi yang mulai seukuran kakak, pakdhe, budhe, dan paman-pamannya.

Uniknya (atau konyolnya?), petasan alias mercon ini kadang keluar dari pakem jual beli pada umumnya. Khususnya mercon bertipe sulut atau bakar pada sumbunya. Lazimnya permen yang dibeli untuk dinikmati manisnya, mercon sulut dibeli untuk dinikmati suaranya. Sudahkah kita perhatikan dengan seksama proses menikmati suara pada mercon sulut oleh pembelinya?

Sesaat setelah sumbu mercon dibakar, sebagian besar pembeli yang saya amati (berarti kemungkinan sebagian kecil tidak), menjauh segera dan menutup kedua telinganya. Di bawah tatapan mata pemilik mercon dan mungkin para penonton, api membakar sumbu dan......duar! Mercon meledak. Sobekan kertas berhamburan ke udara dengan kepulan asap putih abu-abu. Kerapkali dengan koor kompak "Hore.....!" dari penonton, pemilik mercon membuka telinganya. Sumringah dan bungah dengan hati berbunga saat penonton mengacungkan jempol sembari memuji: "Bagus! Merconnya kuenceng banget. Mantap! Ayo bakar lagi!". He...he.... benarkah pemilik mercon benar-benar tahu suara ledakan merconnya?

Karenanya, sampai saat ini, ketika anak perempuan saya minta dibelikan mercon, biasanya saya menjawab: "Nanti saja kita nikmati suara mercon gratisan. Toh mereka membeli memang untuk diperdengarkan kepada orang lain, bukan untuk mereka sendiri".

Dan bagaimana bila saat Salat Tarawih ditunaikan suara mercon masih saja terdengar nyaring? Bila kelas cabai rawit, mungkin masih bisa dimaklumi. Berarti anak-anak yang menyalakannya. Mungkin orang tua mereka pergi ke masjid dan mereka ditinggal di rumah. Tapi kalau sudah mulai kelas bola kasti ke atas, besar kemungkinan yang menyalakan mercon adalah orang dewasa. Berarti mereka  tidak Salat Tarawih, 'kan? 

Kalaupun asumsi itu benar, mungkin inilah PR sekaligus ladang dakwah kita selanjutnya: mengajak kepada mereka yang belum Tarawih untuk Salat Tarawih dan tidak terus-terusan menghambur-hamburkan energi secara mubazir untuk adu argumen, berdebat kusir, bahkan bermusuhan hanya karena perbedaan jumlah rakaat Salat Tarawih.

Salam Ramadhan!

(Diedit dari Catatan Ramadhan Tahun 2015).

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home