Patutkah Aku Mengeluh?

Saya teringat pengalaman waktu lalu, waktu saya belum menerima kebutaan sebagai Berkat Tuhan. Karena sering mengalami hal-hal yang saya anggap menyakitkan baik fisik maupun mental dari minimnya ketajaman mata ini (yang sebenarnya hadiah dari Tuhan juga ), maka saya sering “protes” kepadaNya dan diiringi dengan keluhan pada diri sendiri dan hidup.


Hingga pada suatu hari Tuhan mengirimkan seseorang yang menyadarkan pada saya, betapa saya harus banyak bersukur, betapa saya tak pantas untuk mengeluh. Dia seorang perempuan 21 Tahun, sebut saja namanya “Bela” (bukan nama asli ). Bela datang pada saya bersama suster pedampingnya untuk belajar huruf braille.

Yang membuat saya merasa kecil dan harus bersyukur adalah: Bela (akibat kecelakaan) bukan hanya buta, ia juga pengguna kursi roda, kedua tangannya baal (saya lupa istilah kedokterannya, semacam kehilangan rasa bila memegang sesuatu benda). Padahal syarat utama untuk mengenal huruf timbul itu adalah kepekaan jari-jari kita. namun demikian, semangatnya untuk belajar huruf braille melebihi kekerasan baja sekalipun.

Beberapa bulan kemudian, Ibunda Bela datang kepada saya dan menceritakan semangat Bela sambil menitikan air matanya. “Ibu tak melarang dia terus belajar huruf Braille, tapi Ibu tak sampai hati melihat caranya belajar”, begitulah kata Ibu Bela yang saya ingat.

“Memangnya bagaimana cara dia belajar Bu”, tanya saya.

Ibu Bela bercerita bahwa dia sering melihat Bela dikamarnya sedang menciumi kertas timbul. Mula-mula Ibu Bela menyangka bahwa Bela sedang membaui kertas itu. Kebiasaan itu berlangsung beberapa hari, hingga akhirnya Ibu Bela mengetahuinya. “Karena Bela sulit sekali menggunakan jarinya untuk belajar huruf braille, maka dia menggunakan bibirnya sebagai alat peraba”, Ibu Bela menjelaskan sambil terbata-bata.

Sungguh perempuan yang luar biasa. Saya malu pada Bela, pada diri sendiri dan Tuhan. Dalam keadaan yang semacam itu, Bela tak pernah mengeluh. Bahkan dia sering berkumpul dengan teman-teman berkursi rodanya di beberapa rumah makan. Dia menjalani hidup dengan penuh sahaja.

“Patutkah saya mengeluh”, dalam hati saya. Saya masih ada kaki yang dapat berjalan, masih ada jari-jemari yang dapat membaca huruf braillle, masih dapat menuliskan dan mengirimkan email ini secara mandiri.

Teman-teman tercinta, kita akan segera keluar dari “perasaan” sengsara, mederita, sakit dlll, bila kita bisa bersyukur. bisa menerima diri kita apa adanya. Semoga demikianlah juga teman-teman semua. Jadi, bila teman-teman kesulitan untuk mengerti dan memahami sebuah buku setelah membacanya, janganlah mengeluh.

Teruslah bersuyukur, karena masih ada seorang teman milis seperti saya yang untuk membaca buku saja harus melampaui beberapa tahapan:
(1) Buku dalam bentuk hard-copy discaning menjadi soft-file. hal ini bisa berlangsung berhari-hari, tergantung tebal tipisnya halaman.
(2) Setelah di edit di komputer, dokumen tadi di-conversi kedalam huruf braille.
(3) Tahap akhir dicetak dengan embosser (printer braille) dengan menggunakan kertas yang ketebalannya minimal 120 gram.

Apa pun yang menimpa kondisimu saat ini, tak menjadi masalah. Ketika engkau terbangun dari tidurmu, syukurilah, karena engkau masih dapat melihat indahnya warna-warni hiasan dan benda di kamarmu.

Ingatlah saat yang sama teman-teman kita di Mitranetra, mereka tetap tersenyum walaupun seumur hidup mereka (beberapa orang) tak pernah melihat seberkas cahaya sekalipun dan tak pernah mengenal warna-warni seperti anda semua.

Teman-teman, Cintailah dirimu sendiri, yang ada padamu sekarang, adalah yang terbaik dalam rancanganNya, salam

Irwan Dwi Kustanto
Direktur Yayasan Mitra Netra

Rudi Muliyono (Momo), C.Ht. – QHI
Certified-Client Centered Counselor & One Session Cleared Therapist


Sumber: Inspirasi Daily

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home