TUJUH


10.00 WIB
Aku duduk termangu. Sungguh, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain hanya berdoa. Ruang operasi, dimana suamiku berada di dalamnya, menjelma menjadi sebuah ruang yang sangat-sangat menakutkan bagiku. Masih terngiang dengan jelas kala dokter memberikan dua kemungkinan operasi itu: yang pertama suamiku bisa sembuh, tapi kemungkinan dia akan cacat. Sebagian tubuhnya bisa mati rasa karena tumor yang akan diambil demikian besarnya sehingga bisa membuat jaringan yang masih normal akan rusak. Dan yang kedua, resiko kematian.


Benar-benar pilihan yang sulit dan getir bak buah simalakama kala itu. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa dilakukan.

10.30 WIB
Ini kali kedua suamiku masuk rumah sakit. Dokter memvonisnya menderita penumpukan cairan di otaknya ( hydrocepalus ) karena ada tumor kecil yang menutupi salah satu saluran di otak sehingga terjadi penumpukan cairan yang menyebabkan tubuhnya tak kunjung sehat.

Waktu itu dokter memberikan solusi pemasangan selang berdiameter 0,5 mm yang sampai sekarang menancap di kepala suamiku & syukurlah akhirnya Allah memberikan kesembuhan pada suamiku sampai pada saat Naura lahir suamiku sembuh seperti sedia kala.

Selang 2 tahun dari pemasangan selang itu suamiku kembali jatuh sakit. Ia sering kali merasakan sakit kepala yang amat sangat hebat bahkan kadang muntah tanpa sebab. Jalannya pun limbung tak bisa tegak berdiri dan ia kembali tergeletak lemah di atas ranjang.

Ya Allah. . .cobaan apa lagi ini???

Kemudian aku pun bergegas membawanya ke RS bertemu dengan dokter yang sama & beliau menyarankan untuk CT Scan karena kemungkinan ada hal serius pada kepalanya.

Selang 1 minggu hasil CT Scan pun muncul. Ternyata benar yang dikatakan dokter. Tumor yang ada di otak suamiku tumbuh membesar 2x lipat dari ukuran semula. Dokter hanya menyarankan untuk segera dilakukan tindakan operasi kepala, untuk mengambil tumor itu.

11.25 WIB
Jarum jam terlihat sangat-sangat lambat. Aroma obat dan keriuhan di rumah sakit sungguh menjadi teror yang sangat-sangat menyiksaku. Biasanya, aku mudah tersentuh dengan ragam adegan di rumah sakit: wajah-wajah sayu para penunggu pasien, raut muka tak bergairah di kursi roda, dan .... semuanya. Tapi sungguh, saat ini tiada lagi yang bisa kucerna di pikiranku. Sebisa mungkin kutahan perih yang sangat menyayat karena aku tak ingin menangis di ruang publik itu.

12.40 WIB
Sujudku di Dzuhur siang itu benar-benar menjadi sujud yang banjir air mata. Kutumpahkan segalanya di depan Sang Maha Pemilik Kehidupan. Baru kurasakan dengan sebenarnya bahwa aku sangat-sangat lemah di hadapanNya. Secuil asa yang kumiliki nyaris tak mampu membuat kakiku tegak berdiri. Hingga untuk kesekian kalinya akupun tersungkur dalam sujud. Menghiba dan memelas dengan segenap doa untuk kesembuhan suamiku. Sebisaku kulafalkan doa. Bermunajat kepadaNya.

Dan kala sholat Asyar, menutup doa, kubisikkan lirih: “Ya Allah, Engkau Maha Tahu kemampuan hambaMu menerima cobaanMu. Engkau juga berjanji bahwa Engkau takkan memberikan cobaan di luar kemampuan hambaMu. Bilapun kini Kau berikan cobaan ini, aku yakin karena Engkau tahu bahwa hamba masih sanggup menjalaninya. Bila Engkau menghendaki suami hamba sembuh, angkatlah segera penyakitnya dan kembalikan ia kepada kami agar dapat kami jalani lagi hari-hari ‘tuk menggapai ridhoMu. Tapi bila Engkau berkehendak lain, berikan yang terbaik untuk kami. Amin.”

16.36 WIB
Detik demi detik berlalu sedemikian pelan bagiku, meski kutahu, semuanya berjalan seperti biasa. Roda kehidupan berputar sesuai kehendakNya. Sesuai irodatNya.
Aktifitas rutin di RSUD Bendan Kota Pekalongan berangsur surut. Lalu lalang manusia perlahan tapi pasti menjemput sepi. Aku, dan beberapa keluarga serta kerabat, masih menunggu. Meski doa tak henti kupanjatkan, hal terbaik yang bisa kulakukan pada akhirnya hanyalah pasrah untuk segala kemungkinan. Pasrah untuk setiap keputusanNya.

17.00 WIB
Kami baru boleh menemuinya di ruang ICU , itu pun bergantian maksimal 2 orang. Dan aku pun masuk bersama kakak iparku , bergegas menemui orang yang sama-sama kami sayangi.

Betapa terkejutnya kami berdua ketika melihat suamiku sudah sadarkan diri dengan mata terbuka dan senyum yang mengulas di bibirnya.

SUBHANALLAH
WALHAMDULILLAH
WA LAAILAHAILLALLAH
ALLAHU AKBAR

Betapa bahagianya kami, betapa girangnya kami melihat suamiku yang sedemikian rupa sehatnya. Sungguh keajaiban yang luar biasa hebatnya. Dialah Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, tiada yang tidak mungkin jika atas kehendak-Nya. Tak pernah ada seorang pun yang akan menduga suamiku bisa kembali sembuh seperti sedia kala sampai saat ini.

Begitulah Allah menggariskan cobaan bagi kehidupan rumah tangga kami. Sampai pada saat 7 tahun usia pernikahan kami ini, semoga tetap khusnul khotimah, ikhlas menjalani hidup dan segala cobaan yang diberikan Allah SWT. Sakinah mawaddah warahmah & langgeng sampai maut memisahkan. Amiiin.

*****

*Dari kisah nyata keponakan tercinta, Zuhrotun Nisa. Dirangkai dari postingan Facebook, disimpan untuk sebuah kenangan dan pengingat abadi akan kebesaran Allah di blog pribadi.
**Ditulis dan diposting untuk mensyukuri tujuh tahun pernikahannya beberapa hari yang lalu. Semoga Allah senantiasa memberikan perlindungan, keberkahan, kesehatan, dan jalan yang lurus untuk keluarga. Mudah-mudahan sakinah, mawaddah, warohmah. Amin.

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home