Tampilkan postingan dengan label Pena. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pena. Tampilkan semua postingan

HARI INI, KUBUKA KEMBALI CATATANKU...


Hari ini, kala malam telah bergeser dari puncaknya, sengaja kubuka catatan demi catatan. Untuk mengenang sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang tak 'kan bisa dihapus meski mesin ketik yang dulu setia menemani kini tinggal sejarah di museum antah berantah. Perjalanan yang haru biru oleh air mata, duka, lara, dan tentu saja: tawa, suka, dan bahagia.

Hari ini, kubuka kembali catatanku...
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • MENGAPA LIBUR 1 MEI TIDAK TERCANTUM DI KALENDER PENDIDIKAN?

    Ya, mengapa 1 Mei Libur Nasional? Pertanyaan itu sempat diajukan beberapa rekan guru pada tanggal 30 April kemarin. Mekipun di beberapa kalender sudah tertera keterangan bahwa tanggal tersebut adalah Hari Buruh Internasional, pertanyaan pun melebar: Mengapa tidak tercantum di Kalender Pendidikan Kabupaten Pekalongan Tahun Pelajaran 2013/2014?


    Kebetulan, sejak beberapa tahun terakhir, SDN Tanggeran selalu mencetak sendiri Kalender Pendidikan berukuran besar sehingga diskusi itu pun mengerucut di depan Kaldik yang terpasang di ruang guru, tepatnya di samping meja komputer.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • “GAJI PNS GOLONGAN 2 = 5 JUTA”


    Sebuah sms saya terima pada Hari Minggu, 30 Januari 2011 pukul 12:41 WIB dari seorang guru PNS:

    News : Kepres No. 254/VII/10,tgl 1/11/10 ttg perbaikan Gaji dan Tjngan PNS TMT 1/01/2011: tadi baru turun di dinas. Gol 1: 3 jt, Gol 2: 5 jt, Gol 3A-B: 7,5 jt, Gol 3C-D: 8,5 jt, Gol 4A-B: 9,5 jt, Gol 4C-E: 12 jt, dibayar tgl 1/4/2011. Tdk ada pensiun (kiriman salinan dari BKD). Kita tdk dpt lg pensiun sama dg pegawai lainnya.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • NGEBLOG GRATIS = MINIM PRESTIS? HMMMMM.....

    NGEBLOG GRATIS = MINIM PRESTIS? HMMMMM.....

    Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman. Bukan teman akrab, tapi kami sudah lama saling mengenal. Pekerjaan sehari-harinya di depan komputer, dan tentu saja, internet. Dari pembicaraan ringan tanpa ujung pangkal, sampailah diskusi spontan itu pada tema ngeblog. Dengan bangga, teman saya tersebut menunjukkan blog barunya. Tepatnya, situs baru. Situs bisnis pulsa dengan domain singkat alias domain berbayar. Saya masih asyik menyimak penjelasannya sampai ia berkata dalam bahasa bertanya: "Kok sampeyan (panggilan akrab dalam Bahasa Jawa, artinya kamu) betah ya pakai blogspot? Keren 'kan kalau seperti punyaku ini?"

    Dalam beberapa detik, ingatan saya melayang ke waktu beberapa bulan silam, kalau tidak salah (berarti benar ya) sekitar bulan Oktober 2011, kala di rumah saya hadir seorang rekan guru. Sebut saja namanya Wono. Dari beberapa poin pembicaraan, yang paling saya ingat adalah tema ngeblog. Tidak tahu siapa yang memulai, pendek cerita, saya sampai pada pertanyaan: "Sudah pernah berkunjung ke blog SDN Tanggeran?"
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • BILA GURU BELUM JUGA LOLOS SERTIFIKASI…..

    Di bawah judul “Kecewa terhadap LPMP dan Dinas Pendidikan Nasional” pada rubrik Surat Pembaca di harian Suara Merdeka edisi Sabtu, 16 April 2011, seorang guru PNS dari Purwodadi Grobogan Jawa Tengah melampiaskan kekecewaan mendalam terkait sistim dan prosedur program sertifikasi yang menyebabkan beliau tak juga lolos sertifikasi guru meski telah meraih gelar sarjana selama delapan tahun dengan masa kerja enam belas tahun. (Silahkan klik DI SINI untuk membaca surat tersebut versi online)

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • UNTUKMU, ANAKKU SAYANG……

    Refleksi Akhir Tahun



    Sabtu, 17 Desember 2010
    Gedung KPRI MEKAR Paninggaran, 23.00 WIB
    10 jam sebelum perlombaan


    Tim Panitia Semarak Tahun Baru (STB) 1432 Hijriyah Kecamatan Paninggaran yang terdiri dari unsur Dewan Kerja Ranting (DKR) Gerakan Pramuka Kecamatan Paninggaran dan Jama’ah Barzanji Al Hidayah Paninggaran baru saja menyelesaikan penataan ruang KPRI MEKAR untuk persiapan Lomba Peragaan Busana Muslim untuk anak-anak setelah sebelumnya melakukan hal yang sama di Aula Kecamatan Paninggaran untuk Lomba Mewarnai Gambar. Sekitar jam 22.00, Tim Telkomsel sebagai sponsor telah memasang perangkat publikasi berupa umbul-umbul di sekitar Aula Kecamatan sedangkan sponsor lainnya, Honda 54 Motor Pos Penjualan Paninggaran, menempatkan umbul-umbul di depan Puskesmas Paninggaran yang berlokasi tepat di depan Terminal Paninggaran. Sembari menikmati kopi pengusir kantuk, teman-teman asyik ngobrol melepas lelah.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • SELEMBAR PIAGAM UNTUK IBU PEJUANG PENDIDIKAN


    Refleksi Akhir Tahun

    ………………………………………
    Kata Mereka Diriku Slalu Dimanja
    Kata Mereka Diriku Slalu Dtimang
    Nada Nada Yang Indah
    Slalu Terurai Darinya
    Tangisan Nakal Dari Bibirku
    Takkan Jadi Deritanya
    Tangan Halus dan Suci
    Tlah Mengangkat Diri Ini
    Jiwa Raga dan Seluruh Hidup
    Rela Dia Berikan
    ………………………………………

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • NASI SISA & SYUKUR KITA


    Refleksi Akhir Tahun

    Sekali-kali mari luangkan sedikit waktu untuk mengamati piring-piring yang baru selesai digunakan untuk makan. Baik dari orang-orang yang makan di warung makan, kantin sekolah, atau bahkan di rumah kita sendiri. Mungkin kita akan mendapati tidak semua piring-piring itu dalam keadaan kosong alias masih ada (atau bahkan banyak) nasi-nasi sisa di atasnya. Tidak selera makan, tidak enak, sudah kenyang, atau alasan-alasan lain barangkali akan kita dengar bila ditanyakan penyebabnya.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • BANGKITLAH, PANINGGARANKU......(2)

    Refleksi Akhir Tahun

    Bagian II: Belajar dari Ali Bin Abi Thalib

    Laboratorium Raksasa


    Masyarakat adalah sebuah laboratorium raksasa. Disinilah segala teori akan diuji. Disinilah nyali akan dihadapkan pada fakta-fakta yang tak jarang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan analisa. Maka, siapapun yang memilih terjun di masyarakat, pasti akan menjumpai hal-hal tersebut di atas, dengan bentuk dan wujud yang beragam. Ibarat tempat magang, di laboratorium raksasa itulah setiap peserta dilatih untuk mengenali aneka persoalan sekaligus disodori beragam alternatif solusinya lengkap dengan segala resikonya, termasuk dengan resiko-resiko yang sulit diprediksi.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • BANGKITLAH, PANINGGARANKU......

    Refleksi Akhir Tahun

    Bagian I: Menunggu Momen yang Tepat

    Alkisah, seorang kakek terperosok di sebuah parit di tepi jalan desa. Kakek itu pun merintih kesakitan seraya meminta tolong. Tak lama kemudian, seorang tokoh masyarakat melewati jalan tersebut. Mendengar rintihan meminta tolong, sang tokoh menghentikan langkahnya dan bergegas mendekati kakek tersebut. Sesaat setelah mengamati keadaan sang kakek, sembari melihat jam tangannya, tokoh tersebut berkata, ”Mohon maaf, Kek. Saya ingin menolong kakek tapi saya telah ditunggu oleh masyarakat di Balai Desa untuk membicarakan program pembangunan desa, yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kakek tenang saja, nanti pasti ada orang yang lewat yang akan menolong kakek. Permisi.” Dan pergilah sang tokoh meninggalkan kakek yang masih terus merintih kesakitan.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • MEREKA BUTUH TEMAN BICARA….



    Malam beranjak larut. Beberapa menit lagi tengah malam. Semilir angin dingin Paninggaran pada Rabu, 13 Oktober 2010 lalu tak menggoyahkan enam orang (empat diantaranya remaja) yang tengah duduk manis di ruang tamu. Seperti malam-malam sebelumnya, ruang tamu saya bisa beralih fungsi menjadi basecamp anak-anak muda. Selain pembicaraan resmi, seperti pembahasan agenda Pramuka, Jama’ah Barzanji Al Hidayah, dan sejenisnya, aneka tema pembicaraan akan mengalir dengan hangat. Diselingi gelak tawa dan dering HP pertanda SMS masuk, diskusi bisa berlangsung dengan sangat sengit karena terkadang diwarnai dengan adu argumen. Malam itu, tema tak bergeser jauh dari persoalan khas anak muda: cinta. Empat kepala, empat persoalan cinta. Dari cinta terhalang tembok restu sampai rumitnya melabuhkan cinta di jenjang pernikahan.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Perlukah Iklan Memahami Bahasa Lokal?

    Masih segar dalam ingatan saya iklan Extra Joss yang beberapa waktu lalu membanjiri televisi: Laki? Minum Extra Joss…”. Seingat saya, beberapa versinya telah keluar dengan beberapa artis menjadi bintang iklannya.
    Dalam pemahaman saya yang awam tentang bahasa periklanan, Extra Joss sedang berupaya membentuk (atau mungkin meneguhkan kembali) citra produk yang maskulin. Kata-kata “laki” yang digunakan setahu saya mengacu pada “lelaki” yang dipergunakan dalam bahasa Betawi.
    Sejak edisi awal iklan tersebut ditayangkan, sesungguhnya, ada yang mengganjal di benak saya.

    Di tempat tinggal saya, kawasan pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, istilah “nikah” dalam Bahasa Indonesia maknanya hampir sama dengan nikah dalam bahasa lokal, meskipun lebih populer dengan istilah “kawin”. Artinya, pertanyaan dalam bahasa lokal: “wis nikah durung?” maknanya sama dengan “Wis kawin durung?” yang berarti “Sudah nikah belum?”
    Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, di wilayah saya kemudian banyak guru-guru yang berdatangan (dan didatangkan) dari wilayah Timur Propinsi Jawa Tengah, seperti Klaten, Blora, Demak, dan sekitarnya. Beberapa rekan kerja saya saat ini juga berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Dari wilayah itulah muncul istilah “rabi” yang berarti “nikah” meskipun kadang juga bisa berarti “istri”. Sehingga, pertanyaan “Wis rabi durung?” bermakna “Sudah nikah belum?” sementara pertanyaan “Wis duwe rabi durung?” bermakna “Sudah punya istri belum?”.
    Repotnya, “rabi” dalam bahasa lokal berarti “hubungan seksual”. Dalam tatanan sosial, kata “rabi” termasuk kategori kata-kata vulgar yang sangat tidak sopan diucapkan di depan orang banyak. Maka, kala pertanyaan “Wis rabi durung?” diucapkan di muka umum, bagi masyarakat di wilayah saya, merupakan pertanyaan yang tidak patut ditanyakan sekaligus terlarang untuk dijawab karena sedang menanyakan “Sudah melakukan hubungan seksual belum?”
    Lazimnya Bahasa Jawa yang mengenal tingkatan sesuai strata sosial dan situasi pembicaraan, kata “rabi” pun memiliki bahasa turunan atau bahasa tingkat kedua, yaitu “laki”. Sama-sama bermakna “hubungan seksual”, kata “laki” dipergunakan untuk menyebut hubungan seksual pada hewan. Kalaupun dipergunakan dalam bahasa harian, biasanya merupakan kata-kata makian atau umpatan.
    Awalnya, saya mengira istilah tersebut hanya dipergunakan terbatas oleh masyarakat di sekitar saya. Ternyata, istri saya yang berasal dari Kabupaten Batang pun mengenal istilah tersebut dengan makna yang sama. Penasaran, saya mencoba menelusurinya melalui rekan-rekan kuliah yang berasal dari kabupaten tetangga seperti Pemalang dan Tegal. Dan saya pun memperoleh jawaban serupa.
    Sesaat sebelum tulisan ini saya ketik, saya mencoba menelusuri mesin pencari di internet. Dengan kata kunci “laki” dan “extra joss”, beberapa tulisan saya baca. Salah satunya saya temukan di creasionbrand.blogspot.com. Di bawah artikel yang mengulas kekuatan iklan tersebut dari sisi pemasaran, seorang pembaca meninggalkan komentar pada tanggal 29 Juni 2012: “Iklan itu beredar di seluruh Indonesia, anda tahu arti kata LAKI bagi org Jawa Tengah terutama daerah pantura?…rasanya lebih bijak kalau gunakan kata LELAKI,atau LAKI-LAKI bukan bhs. jakarta LAKI, karena sbg orang jateng saya risi mendengar kata LAKI, silahkan diresearch dulu..”
    Terlepas dari grafik penjualan produk tersebut di wilayah saya, dan juga kawasan Pantura, sampai saat ini saya masih merasa sangat-sangat tidak nyaman kala iklan tersebut ditayangkan di stasiun radio lokal. Sekali lagi, sebagai orang yang awam terhadap dunia periklanan, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulang judulnya: Perlukah Iklan Memahami Bahasa Lokal?

    Dimuat di kompasiana pada 14 Agustus 2012.

    Update:
    Pada Mei 2015, iklan produk tersebut telah muncul dengan versi baru. Persamaannya: masih menggunakan kata "laki" sebagai jargon.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • BENAR, KEBENARAN, DAN PEMBENARAN


    Di sebuah kompleks kost-kostan, seorang pemuda, sebutlah namanya Danu, menyetel radio dengan volume maksimum. Tetangga kamarnya, sebut saja misalnya Iwan, merasa terganggu. Maka datanglah Iwan ke kamar Danu dan dengan santun meminta Danu untuk mengurangi volume radionya. Di luar dugaan, Danu marah dan dengan nada suara yang tak kalah tinggi dengan volume radionya, Danu memaki: “Radio, radioku. Aku beli dengan uang, uangku sendiri. Kusetel dengan listrik, listriknya kubayar sendiri. Apa urusanmu?”
    Lumerlah kesabaran Iwan oleh siraman kata-kata itu. Lalu, Iwan pun menjawab: “Telinga, telingaku. Kalau sakit, aku yang bayar sendiri ongkos obat dan dokternya. Bila karena suara radiomu itu telingaku tuli, memangnya kamu mau membayar ganti rugi?”
    Siapa yang benar? Mungkin keduanya benar, karena telah berbicara untuk dan atas nama hak pribadi. Itu kalau hak pribadi diartikan sebagai hak milik yang tak seorang pun bisa mengusiknya dan telah melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Terus, siapa dong, yang salah?
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • PILIH SMA ATAU SMK?

    Sekitar dua bulan lalu, saya menemukan sebuah pertanyaan di Yahoo Answer yang berhasil memantik  keinginan saya untuk turut menuliskan jawaban. Sebuah pertanyaan simpel yang intinya seperti judul tulisan ini: Pilih SMA atau SMK?

    Ada dua alasan yang membuat saya tergerak untuk turut berupaya menjawab pertanyaan tersebut. Alasan kedua (sengaja, lho, yang pertama nanti): saya kerapkali mendengar pertanyaan sejenis, baik langsung maupun tidak langsung. Yang kedua (betul, kan?), pertanyan itu pernah menjadi pertanyaan saya belasan tahun silam kala lulus MTs. Saat itu, belum ada satu pun SMA/SMK di kecamatan saya (sekarang, sudah ada 1 SMA dan 1 SMK). SMA Negeri terdekat berada di ibukota kabupaten yang berjarak sekitar 25 km dari tempat domisili saya di kawasan Selatan Pegunungan Kabupaten Pekalongan pada ketinggian sekitar 1300 dpl.

     

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • SELAMAT JALAN, PAK ZAINUDIN






    Pagi hari tadi, pukul 08.00 WIB, sebuah pesan masuk ke HP saya. Dari Pak Kundarno, rekan kuliah di STAIN Pekalongan, guru TKIT Insan Mulia Kajen, mengirimkan kabar duka:

    “Innalillahi wainnailaihi roojiun…. Telah meninggal dunia bpk zainudin guru agama/teman kita STAIN. Semoga diampuni dosa dan amal baiknya diterima di sisi Allah SWT. Amin…. Rabu, 12 Maret 2012”.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • KALA MURID MEMBENCI GURUNYA

    Pagi tadi (8/2) kala memeriksa email dan komentar blog seperti yang biasa saya lakukan sebelum berangkat ke sekolah, saya sempatkan membuka facebook. Beberapa status terbaru dari anggota komunitas Blogger Guru Indonesia terlihat. Grup yang kelahirannya dibidani oleh alumnus Lomba Blog BPTIKP Dinas Pendidikan Jawa Tengah Tahun 2011 tersebut sedang hangat-hangatnya membahas desain jaket sebagai kostum komunitas.

    Di Grup Ikatan Guru Indonesia Pusat, Mohammad Ihsan, Sekjen IGI, mempublikasikan buku "Apa Yang Berbeda Dari Guru Hebat", yang memuat kisah inspiratif 12 aktivis IGI yang luar biasa terbitan Esensi (Erlangga). Yang kelihatannya bangun paling pagi karena berkomentar paling awal di grup ini adalah Mampuono, master TIK yang saya kenal lebih dulu melalui karya-karyanya di dunia maya dan baru berkesempatan bertemu di acara TOT TIK BPTIKP Jawa Tengah dan berlanjut di Lomba MPI LPMP Jawa Tengah. Beliau juga berada pada barisan awal rekan-rekan blogger yang merespon permintaan saya di forum BGI untuk berbagi ilmu pada forum Pengembangan TIK Pendidikan di kecamatan saya yang konsepnya masih disempurnakan.

    Di grup yang sama, pandangan mata saya terbentur pada tulisan kiriman salah seorang anggota grup, Lea Kusuma, yang mengarahkan link ke sebuah tulisan dari Kompasiana. Judulnya membuat saya terperangah: ORANG YANG PALING GUE BENCI ADALAH GURU GUE.

    Beberapa menit lagi saya mesti mengantar putri saya, Wafda, ke sekolah. Tetapi, judul tulisan itu memaku saya bagai lekat dengan kursi di ruang kerja dan dengan cepat mengakses link yang disertakan. Ditulis oleh Budiman Hakim, saya segera melahap kata demi kata, baris demi baris tulisan tersebut. Karena tak mungkin saya kutip, berikut tulisan selengkapnya:

    ###############

    Taman Sastra Rawamangun adalah tempat nongkrong mahasiswa Fakultas Sastra UI dan juga mahasiswa-mahasiswa IKIP. Karena taman itu memang berada di antara ke dua kampus tersebut. Semua orang betah di sana karena selain tempatnya nyaman dan sejuk, di sana juga ada tukang makanan yang lezat. Misalnya ketopraknya Pak Tarwin, es telernya Si Kumis dan yang paling saya suka adalah Somaynya Jeri. Tukang somay ini dipanggil Jeri karena mata kirinya memang jereng hehehehe….

    Saya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Perancis. Saat itu saya lagi makan somay di bangku Taman bersama dengan temen saya Gerry. Lagi asik-asiknya ngobrol, tau-tau ada dua orang berusia sekitar 40an ikut duduk bersama kami.

    ”Dik, ikut numpang duduk ya?” kata salah seorang yang gemuk dan berkulit hitam.

    ”Silakan. Mas dosen IKIP ya?” kata saya sok akrab. Soalnya ga mungkin dia mahasiswa kalo penampilannya setua itu.

    ”Oh bukan. Kami berdua mahasiswa, sama kayak adik.” sahut yang satu lagi, orangnya kurus, tinggi, putih tapi agak kumel.

    ”Yang bener Mas? Kok telat banget kuliahnya? Waktu SMA ga naik kelas terus ya?” kata saya agak kurang ajar. Tapi gapapa kan sama-sama mahasiswa hehehe..

    ”Saya Abdullah dan ini Marzuki adalah guru SMP. Sekarang kami dapet bea siswa dari kementrian pendidikan ngambil S2 di IKIP.” sahut yang berkulit hitam.

    ”Oh begitu…”

    Ga lama bell berbunyi tanda mata kuliah yang kami tunggu akan dimulai. Selesai bayar makanan dan minuman, saya dan Gerry bergegas ngeberesin ransel dan melangkah ke arah kelas.

    Baru satu langkah kami berjalan, tiba-tiba mahasiswa IKIP yang namanya Abdullah menangkap tangan Gerry. Wajahnya tetap ramah namun matanya memandang tajam ke wajah Gerry.

    ”Eh kamu Gerry kan?”

    Gerry diem aja. Parasnya aneh. Saya agak heran jadinya.

    ”Kamu Gerry dari SMP Perdana kan?” tanya Abdullah lagi.

    Bukannya ngejawab, Gerry malah menarik tangannya dari genggaman Abdullah dengan kasar.

    Abdullah cukup kaget ngeliat reaksi Gerry, ”Kamu Gerry kan?”

    ”Heh Mas, lo salah orang.” sahut Gerry ketus.

    ”Kalo bukan Gery nama kamu siapa?”

    Tiba-tiba Gerry membentak, ”Woi!!! Nama gue siapa lo ga perlu tau. Jauh-jauh lo dari gue!!!”

    “Gerry, saya Abdullah guru kamu di SMP Perdana. Saya ngajar Sejarah Indonesia kalo kamu masih inget.”

    ”Hey orang gila! Kalo udah salah ngenalin orang ga usah maksa ya? Jangan sampe gue tonjok lo!!!”

    Aneh banget. Ga ada angin dan ga ada ujan Gerry marah dan saya ga tau sebabnya. Suasana jadi cukup tegang. Saya buru-buru menarik Gerry sebelum dia ngamuk lebih jauh. Sementara Marzuki juga menarik Abdullah agar menjauh dari Gerry.

    ”Udah Pak, biarin aja. Murid-murid jaman sekarang emang gampang lupa sama gurunya. Ga usah dipaksa.” kata Marzuki ke temennya Abullah.

    Mendengar omongan Marzuki, Gerry kembali naik darah. Dengan cepat dia berontak dari pegangan saya dan langsung menghampiri Marzuki dengan wajah garang.

    Untung perkelahian ga terjadi. Temen-temen yang lain segera memisahkan mereka. Saya tarik Gerry dengan paksa lalu saya seret langsung ke ruang kuliah. Sambil melangkah, saya masih sempet melirik ke arah Abdullah. Dia keliatan bingung, matanya merah. Rasanya dia lebih keliatan sedih daripada marah.

    Di ruang kuliah, Gerry bengong aja. Saya yang duduk di sebelahnya juga ga nanya apa-apa. Saya biarin aja dia asik dengan pikirannya. Sementara saya bertanya-tanya dalam hati, siapakah Abdullah itu? Apa bener dia mantan gurunya waktu SMP? Kalo iya, kenapa Gerry begitu murka seperti itu? Seumur hidup saya belom pernah ngeliat Gerry marah besar kayak tadi.

    Sampe selesai kuliah ga ada satupun materi dosen yang masuk ke otak saya. Apalagi ke otak Gerry saya rasa. Kami berdua kembali ke taman dan duduk di bangku yang tadi. Alhamdulillah kedua orang mahasiswa IKIP tadi udah ga ada.

    Karena Gerry ga keliatan napsu buat ngomong, saya ngeluarin buku cerita silat cina yang saya bawa dari rumah. Judulnya Bu Kek Siansu yang saya pinjem dari temen saya Erwin mahasiswa dari jurusan Sastra Indonesia. Ga lama kemudian saya pun tenggelam di dunia Kang Ouw meninggalkan Gerry yang masih duduk di sebelah saya.

    ”Alhamdulillah gue tadi ga sampe mukul tuh orang…” Sekonyong-konyong dia bergumam.

    Saya menaruh buku di pangkuan sambil tanya, ”Emang dia beneran guru lo?”

    ”Iya waktu di SMP Perdana. Dia ngajar Sejarah Indonesia di kelas 2.” sahutnya dengan suara lirih perlahan.

    Oups! Ternyata bener gurunya loh. Gile! Apa yang terjadi sampe Gerry marah pas disapa gurunya ya? Tapi saya diem aja. Kalo dia mau cerita pasti dia akan cerita sendiri. Kalo ga mau ya ngapain dipaksa kan? Siapa tau ada alasan yang memang dia merasa ga nyaman menceritakannya.

    ”Waktu itu dia pernah nampar gue di kelas. Dan sampe kapanpun gue ga akan pernah melupakannya…”

    Saya diem.

    ”Dia masuk kelas dengan wajah ga mood, sementara di kelas anak-anak lagi pada ribut banget.”

    Saya masih diem.

    Tiba-tiba dia ngebentak, ”Woi! Diam kalian! Pelajar apa kamu ribut-ribut di kelas? Hah!!!”

    Saya tetep diem.

    ”Semua anak memang ribut dan satu-satunya yang ga ribut cuman gue. Gue lagi baca buku Sejarah soalnya dia suka bikin quiz tiba-tiba.”

    Diem saya berlanjut.

    ”Tau-tau dia nyamperin gue terus ngejambak rambut dan nyeret gue ke depan kelas…”

    Diem continous.

    ”Gue kaget dan ga tau kenapa tiba-tiba gue diperlakukan seperti itu. Gue coba berontak eh dia nampar gue kenceng banget…”

    Waduh! Kayaknya gue udah kelamaan diem nih.

    ”Terus dia tereak, ’apa kamu melotot-lotot ke saya? Mau jadi jagoan?’ Abis ngomong gitu dia nampar gue lagi berkali-kali.”

    “Jadi dia marah ke elo kayak gitu sebabnya apa?” tanya saya keheranan.

    “Percaya ga? Sampe detik ini gue ga tau alasan dia apa.”

    “Kok aneh?” kata saya garuk-garuk kepala.

    ”Gue marah tapi juga takut sampe kencing di celana. Aduh gue malunya bukan main takut keliatan sama anak-anak. Saking marahnya gue jadi melotot beneran ke dia…”

    Saya diem lagi.

    ”Ngeliat gue melotot, dia nampar gue lagi berkali-kali sampe muka merah. Terus dia ngebentak gue lagi, ’Apa kamu melotot? Mau ngelawan. Saya tau bapak kamu polisi, panggil Bapak kamu ke sini, saya ga takut!!”

    Sekarang saya deg-degan ngedenger ceritanya. Saya kenal sama Bapaknya Gerry, seorang Kapten polisi yang temperamental. Kalo Gerry beneran ngadu ke bapaknya wah…bisa mati ditembak tuh gurunya.

    ”Terus lo aduin ke bapak lo?” tanya saya dengan suara perlahan.

    ”Sampe rumah, gue ngomong ke bokap, ’Pak tadi temen di kelas ditampar sama Pak Guru.’ Lo tau ga? Bokap langsung ngambil pistol dari kamarnya..”

    ”Nah loh? Mau ngapain dia?” tanya saya.

    “Terus bokap nanya, ‘Temen apa kamu yang ditampar guru? Bapak samperin dia sekarang juga. Ayo jangan bohong!’ Gue jawab, ’temen saya kok Pak.’”

    Fuiiiih….Kok saya merasa lega ya? Padahal peristiwa itu udah lewat bertaon-taon yang lalu.

    ”Terus bokap ngomong, ’Kamu harus bilang kalo ditampar guru. Jangankan ditampar, disentil aja kuping kamu, Bapak hajar gurumu habis-habisan.’”

    Sekarang saya mulai memahami dilema yang dirasakan oleh Gerry.

    ”Ngeliat sikap bokap kayak gitu, gue akhirnya memutuskan ga cerita sama bokap. Tapi gue tetep ga bisa melupakan peristiwa itu. Gue ga akan pernah memaafkan guru anjing itu…”

    Saya menepuk-nepuk pundaknya. Sementara Gerry beberapa kali menghela napas panjang untuk meringankan beban di tubuhnya.

    ”Gue barusan janji pada diri sendiri bahwa gue ga akan pernah mukul bangsat itu tapi jangan harap gue akan memaafkan dia…”

    Sebenernya saya gatel mau ngasih nasihat bahwa guru itu khilaf, mungkin lagi punya masalah keuangan, atau bisa jadi malemnya ngajak ML ditolak isterinya. Tapi rasanya ini bukan saat yang tepat untuk ngasih nasihat. Akhirnya saya memutuskan diem lagi.

    ”Kalo dia mati dan keluarganya minta maap, gue sumpah ga akan memaafkan dia.”

    “Hus! Jangan ngomong gitu dong Ger! Ora ilok!” kata saya memperingatkan.

    “Biar dia ngejerit-jerit karena disiksa dalam kubur terus manggil-manggil gue minta maaf…ga akan pernah gue maapin.”

    Astaghfirullah! Sebegitu dendamnya anak ini pada gurunya.

    “Orang yang paling gue benci di dunia ini adalah guru gue itu…” kata Gerry dengan suara pelan tapi geram.

    Salahkah Gerry? Salahkah gurunya? Saya ga mau mengadili. Siapalah saya berani-beraninya menghakimi orang lain. Tapi dari lubuk hati yang paling dalam, saya sangat ga setuju guru memukul murid. Apapun alasannya!

    Dulu karena saya badungnya bukan main, saya sering ditampar oleh beberapa guru tapi alhamdulillah saya ga dendam sama mereka. Tapi ada satu hal yang perlu diketahui bahwa saya ga pernah bisa respek lagi sama guru yang pernah memukul saya. Menjadi guru tidak memberi legalitas pada mereka untuk memukul anak didiknya.

    Saya menghela napas panjang berkali-kali! Peristiwa Gerry ini membuat saya memahami bahwa sekali kita menyakiti orang lain, rasa sakit itu bisa abadi. Peristiwa Gerry ditampar gurunya udah hampir 10 tahun yang lalu tapi kesakitannya sampai hari ini masih terasa. Bahkan mungkin borok di hatinya sudah bernanah mengingat lukanya ga sembuh-sembuh setelah begitu lama.

    Setiap murid punya karakter yang berbeda. Ada yang ditampar guru lalu besoknya lupa dan ceria kembali. Tapi ada juga yang seperti Gerry yang membiarkan dirinya larut dalam dendam. Guru memang cuma manusia biasa, tapi sengaja atau tidak, kalo melakukan kekhilafan, cobalah buru-buru meminta maaf. Jangan biarkan kesakitan murid jadi borok yang terus diidapnya sampai tua bangka.

    Buat pembaca yang kebetulan berprofesi sebagai guru, mungkin kalian pernah bertanya apa sih ukurannya menjadi guru yang baik bagi anak didik? Jawabannya sederhana; kalo setelah lulus, murid itu masih terus menyambung tali silaturahmi dengan kalian, masih sms, telepon apalagi datang ke rumah, berarti kalian sukses menjadi guru yang baik. Insya Allah!

    Ya allah…hilangkanlah dendam temen saya Gerry. Aamiin!

    ###############

    Saya terpaku. Benar-benar terpaku. Seperti penulisnya, saya merasa sedang duduk bersebelahan dengan Gerry. Dengan mata memanas.

    Lahir dan besar di lingkungan kampung yang belum berlistrik, saya akrab dengan aneka mainan khas anak-anak, termasuk dengan sungai yang digunakan untuk mandi sementara di bagian atas, aliran sungai yang sama digunakan untuk buang air besar, memandikan kerbau, dan aktifitas sejenisnya. Alam memberikan saya, juga kepada teman-teman sepermainan saya, kekebalan terhadap dingin sebagaimana kebiasaan bermain di sungai melatih saya untuk tidak sensitif (untuk tidak menyebutnya bersahabat) dengan rasa jijik terhadap air kotor, lingkungan kumuh, dan teman-temannya.

    Di kemudian hari, baru saya sadari, ada hal yang berbeda pada diri saya dibandingkan teman-teman. Saya mudah tersentuh dengan perasaan orang. Tepatnya, saya mudah terharu dengan penderitaan orang lain.

    Tanggal 13 Mei 1998 siang, kalau saya tidak keliru, waktu saya masih menuntut ilmu di SMK Muhammadiyah Pekalongan, untuk sebuah keperluan saya mesti pulang ke rumah yang berjarak sekitar 50 km. Sambil persiapan untuk berangkat kembali, karena sorenya saya mesti sampai di tempat kost, saya sempatkan menonton televisi kala televisi memberitakan Tragedi Trisakti yang menelan korban jiwa mahasiswa. Tak sampai setengah jam, saya yang sedang menyaksikannya sendirian di ruang tengah, tak mampu menahan air mata. Sendirian, saya menangis tersedu-sedu dengan air mata yang mengucur deras.

    Kala sebagian teman saya merasa jijik dengan darah, saya sebaliknya. Pada saat seorang kerabat yang masih berusia belasan tahun mengalami kecelakaan lalu lintas dimana sepeda motor yang dikendarainya terlindas mobil, jenazahnya dirawat di Puskesmas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Mengiringi jenazah diantar ke rumah duka, saya berdiri di belakangnya dengan menjinjing dua plastik. Satu berisi baju berlumuran darah, satu berisi (mohon maaf) cairan kepala korban yang mesti dibawa pulang karena menurut kepercayaan masyarakat di tempat saya, juga harus ikut dikuburkan bersama jenazah. Semua saya lakukan tanpa rasa jijik sedikitpun.

    Sebaliknya, kala seorang tetangga berlumur darah akibat dikeroyok karena mencuri, darah saya ikut mendidih. Lebih-lebih karena saya juga tahu, pihak keluarga sudah menyatakan bertanggung jawab dan siap mengganti kerugian. Tetesan darah yang saya keringkan dengan baju di malam itu, dengan iringan raungan tangis ibu dan saudara-saudaranya, sampai kini masih membekas di benak saya.

    Hampir sama tatkala sebuah pengeroyokan massal terjadi di jalan raya tak jauh dari saya. Suara gaduh dan ramainya teriakan memancing rasa penasaran saya untuk keluar rumah. Dan masya Allah, di tepi jalan, seorang pemuda sedang dikerumuni puluhan orang yang mendesaknya ke arah jembatan. Kepalanya berlumur darah segar, membasahi muka dan baju. Spontan, saya berlari menyeruak ke tengah-tengah orang-orang yang kesemuanya saya kenal namun terlihat sudah kesetanan. Tampak seorang tokoh masyarakat, yang kini sudah meninggal, mencoba pasang badan dan berupaya melindungi korban yang tampak kesakitan. Beberapa langkah lagi saya bisa menjangkau keduanya, tanpa saya berfikir resiko kemungkinan kena pukulan nyasar, tiba-tiba seorang pemuda (yang dikemudian hari terpaksa saya ceramahi panjang lebar tentang perikemanusiaan dan perikebinatangan) mengayunkan kursi ke arah korban. Buk...!!! Tepat di kepala. Kursi pecah berantakan.

    Meski akhirnya berhasil diselamatkan dan tak sempat jatuh ke sungai yang dibawahnya menganga batu-batu tajam dan kasusnya sendiri berlanjut ke pihak yang berwajib, darah segar akibat kebrutalan dan hilangnya akal sehat itu masih segar pula tertanam di memori saya. Sampai sekarang.

    Saya masih termangu di depan laptop bersama Gerry kala anak saya mengajak berangkat sekolah. Sesaat, Gerry seakan menatap saya seraya bertanya, "Salahkah saya?"

    Detik berikutnya, sosok Pak Harfan, guru SD di Belitong, pelosok Sumatera Selatan, dalam buku Laskar Pelangi, yang digambarkan sebagai sosok yang ”...tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal ”guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi yang juga secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya” muncul di depan saya. (Tulisan saya selengkapnya, Belajar dari Laskar Pelangi, bisa dibaca DI SINI

    Kala merengkuh si kecil Wafda ke atas sepeda motor, saya berbisik lirih di hati: Ya Allah yang Maha Pengampun, jangan biarkan kami menjadi penebar dendam. Amin.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU, SAUDARAKU...

    1 Oktober 2010, melalui media sosial Facebook, saya bingkiskan sebuah catatan sebagai hadiah ulang tahun sohib karib saya, Nurul Ibadi, berjudul KADO UNTUK ULTAH SAHABATKU: NURUL IBADI. Tulisan yang kutip utuh dari percikaniman.org tersebut mengusung tema pernikahan. Tulisan yang sengaja saya berikan kala diskusi-diskusi panjang kami mulai merambah tema menarik sekaligus menyimpan banyak misteri: pernikahan.

    Setahun kemudian, 1 Oktober 2011, kembali pada momen ulang tahunnya, saya tulis kembali catatan yang sama dengan judul berbeda: MENIKAH ADALAH IBADAH TERINDAH, SAUDARAKU...

    Setahun umur catatan tersebut, diskusi demi diskusi mengalir. Intensitasnya tak terhitung lagi. Dari judulnya, catatan pada tahun 2011 jelas menyiratkan dua hal: pertama, saya ingin meyakinkan Nurul Ibadi, sebagaimana penutup catatan tersebut: "Percayalah kepada Yang Maha Menepati Janji................"; kedua, sebagai sebuah ibadah, pernikahan mesti dipersiapkan.

    Ya, dari beberapa rekan muda yang sering mangkal di tempat saya, terkadang sampai larut malam, diskusi tentang pernikahan kerapkali menjadi diskusi yang paling menarik sekaligus paling tak berujung. Tak sekali dua kali luapan semangat untuk menunaikan sunah Rasul itu membentur dinding kukuh berlabel tradisi. Pendeknya: berat di ongkos!

    Saya bisa merasakan dilema itu. Kepungan aneka media yang menyuguhkan sajian erotis tanpa batas, termasuk siaran langsung yang bisa dinikmati gratis berwujud tubuh-tubuh molek dengan balutan busana minim di wilayah saya, kawasan pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan, memberi andil yang tidak kecil dalam mendidihkan derajat birahi dalam hitungan detik. Sementara saat mereka telah memiliki niat untuk menikah, kendala klasik telah menghadang.

    Saya tak bermaksud menyederhanakan, apalagi menyepelekan, urusan sepenting pernikahan. Tetapi, jujur saja, tradisi yang telah mendarah daging tentang pernikahan yang serba wah, menurut saya, telah menjadi penghalang bagi niat-niat mulia.

    Maka, tatkala Nurul Ibadi terlihat semakin antusias untuk menikah, tentu saja, saya tak mau mundur dalam memperjuangkan "konsep" sederhana tentang pernikahan. Konsep yang saya maksud adalah turuti kata hati dan jangan turuti kata tetangga.

    Mulailah babak baru itu. Diawali dengan merancang Rencana Anggaran Biaya (RAB) di pertengahan 2010, Nurul Ibadi pun mengibarkan bendera start.

    Mulus? Seperti sinetron, penuh liku. Tak sekali Nurul Ibadi terlihat goyah. Pekerjaannya sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) berhonor kecil terkadang menjadi batu sandungan. "Bisakah aku? Mampukah aku?" demikian kurang lebih galaunya.

    Dan tak jemu juga saya membuka kitab perjalanan hidup saya. Sekali lagi, saya merasakan hikmah yang teramat besar yang Allah SWT berikan melalui berlikunya jalan hidup saya: berbagi dengan orang lain. Dan pernah merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain membuat segalanya lebih indah.

    Kembali saya katakan apa yang juga pernah saya katakan kepada beberapa orang yang sedang mengalami hal yang sama: "25 Februari 2004, kala saya menikah, pekerjaan GTT bukanlah pekerjaan populer. Jumlah penduduk asli kelahiran Paninggaran yang berminat menjadi guru pengabdian masih bisa dihitung dengan jari. Pagi dan malam menjadi pekerja, siang menjadi guru swasta, dan sore menjadi mahasiswa, kemudian menikah setelah melalui perjalanan yang teramat panjang dan berliku, siapa lagi yang mempermudah semuanya kalau bukan Sang Maha Pemberi Rizki?"

    Ya, tak hendak menulis biodata. Juga tak bermaksud menggurui siapapun. Saya hanya hendak menyampaikan betapa Allah Maha Kaya. Dan IA tepati janji-Nya untuk memberi rizki dan jalan keluar dari arah yang tak terduga.

    Dan.....subhanallah. Pagi tadi, kala menyaksikan langsung akad nikah Nurul Ibadi, saya serasa menonton pertunjukan megakonser. Sebuah pagelaran ke-Maha Agung-an Sang Penguasa Langit dan Bumi.

    Kala semua usaha telah dilakukan. Kala semua ihtiar telah ditempuh. Kala hati telah dipasrahkan kepada pemilik-Nya. Bukankah kepada Sang Maha Menentukan kita serahkan jiwa raga ini, karena memang hanya DIA-lah yang memiliki hak prerogatip untuk itu?

    Dan IA tepati janji: sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Al-Insyirah ayat 5 dan 6).

    Selamat menempuh hidup baru, Saudaraku...

    Hari ini kau tapaki lembar baru. Hari ini kau buka sejarah baru. Hari ini kau tunaikan sunah Rasulullah, seperti tekadmu beberapa tahun lalu.

    Semoga dipermudah membangun jembatan mardatillah untuk merengkuh keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Amin.


    Teriring doa bahagia
    Sahabat dan saudaramu
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • KOMPETISI SEHAT: MENANG PUAS, KALAH IKHLAS

    Apa yang paling menarik dari sebuah kompetisi? Hadiah, adrenalin yang terpacu, prestasi, prestise, semuanya, atau tidak semuanya? Beragam jawaban tentu akan diperoleh manakala pertanyaan itu diajukan. Tentu, dengan argumen dan sudut pandang masing-masing. Karena terkait dengan pendapat, maka tentu saja persoalan utama bukanlah benar salah. Termasuk tulisan pendek ini.

    Minggu, 16 Oktober silam, bertempat di komplek Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan, digelar hajat besar: Lomba Mewarnai Gambar tingkat PAUD/TK/RA se-Kecamatan Paninggaran. Lomba yang didukung oleh produsen obat anak-anak itu membukukan jumlah peserta 410 peserta, sebuah angka yang cukup tinggi untuk ukuran kecamatan di kawasan Selatan pegunungan Kabupaten Pekalongan, melampaui jumlah peserta pada lomba sejenis dalam Semarak Tahun Baru Hijriyah 1432 H Tahun 2010. Dari 29 PAUD, 13 RA, dan 7 TK, tercatat 14 PAUD dan 6 RA yang absen dalam lomba yang diselenggarakan oleh panitia bersama Himpaudi, KKG TK Gugus Wijaya Kusuma, dan KKG RA Kelompok 8 Kecamatan Paninggaran tersebut.


    Kali pertama bersentuhan dengan sponsor, terlihat rekan-rekan panitia agak canggung. Tak mau bertaruh dengan persiapan seadanya, saya pun melibatkan diri di dalamnya. Saya turunkan dua tim sekaligus: Dewan Kerja Ranting Gerakan Pramuka Paninggaran dan Jama’ah Al Hidayah Paninggaran. Kebetulan bendera kedua tim itulah yang sering berkibar dalam kegiatan-kegiatan bersponsor di wilayah kecamatan.

    Target awal 300 peserta sempat membuat panitia gentar. Biaya pendaftaran 20 ribu bukanlah angka kecil untuk ukuran wilayah saya. Meski akan mendapatkan satu botol obat cacing, satu botol obat penurun panas, dan sebuah kaos cantik, sampai beberapa hari menjelang hari H, jumlah peserta belum bertambah secara signifikan. Kebetulan istri saya menjadi sekretaris panitia sehingga hampir setiap denyut pergerakan lomba saya ketahui detilnya.

    Seraya merapatkan barisan panitia, hal-hal yang kemudian bisa saya lakukan adalah memberikan motivasi, termasuk menyempatkan hadir dalam rapat panitia untuk sekedar menyampaikan konsep jangka panjang yang saya buat hampir untuk semua kegiatan dimana saya terlibat di dalamnya. Artinya, saya sering melihat prospek ke depan dari sebuah acara dan bukan hanya menakar peluang acara di hari itu. Saya jelaskan peluang-peluang yang nantinya bisa dicapai oleh ketiga kelompok kerja guru pascalomba tersebut, yang sempat miskomunikasi agak lama. Misalnya senam massal dengan mengenakan kaos tersebut beberapa bulan mendatang, kerjasama peningkatan kualitas dan kompetensi guru dengan KKG PAI Kecamatan dimana saya menjabat sekretaris, pelatihan TIK, dan sejenisnya

    Alhamdulillah, semua unsur panitia terlihat semakin solid seiring hari H yang makin dekat. Dan…….kerja keras itu pun terbayar lunas di hari Minggu itu. Sejak pagi, gelombang peserta nyaris tiada henti membanjiri lokasi lomba. Target peserta terlampaui, dan semakin melesat jauh. Tenda yang disiapkan di halaman Kantor Kecamatan pun tak mampu menampung peserta yang masih saja datang setelah lomba dimulai. Harus diakui, panitia tak sigap mengantisipasi ledakan jumlah peserta sehingga banyak peserta yang akhirnya harus mengikuti lomba di bawah terik matahari. Tetapi, tanpa membela diri, semuanya sungguh di luar dugaan sehingga meskipun telah diduga ada peserta yang mendaftar di hari H, tetap saja jumlahnya di luar prediksi. Efek lainnya, dropping kaos dari sponsor untuk peserta terpaksa menunggu realisasi pesanan beberapa minggu ke depan sehingga belum semua peserta mengenakan kaos seragam di hari lomba.





    Lepas dari hal tersebut, gelora kompetisi sungguh sangat terasa. Berada tepat di tengah peserta berusia dini, dengan segala teriakan, hingar bingar, dan tangis bocah-bocah mungil, kembali saya menemukan semangat yang seakan hilang beberapa lama. Ya, semangat kompetisi itu terasa sangat sangat dekat.

    Bertugas mengatur waktu lomba dan kemudian mengabadikan gambar, mata saya menangkap momen-momen yang tak biasa. Semangat ibu guru dalam mengawal anak didiknya yang tak kebagian tempat layak sempat membuat mata saya memerah. Datang dari pelosok Barat Paninggaran, melewati aneka medan perjalanan yang jauh dari nyaman dengan mobil angkutan pedesaan belasan kilometer, dengan biaya tambahan yang tidak sedikit, dan akhirnya terpaksa mengikuti lomba di luar tenda di bawah sengatan matahari, lihatlah kobaran semangat itu.



    Lelehan keringat yang membalur di muka dan sekujur tubuh-tubuh mungil itu sungguh membuat saya terpaku. Dan ingatan saya mengelana. Jauh. Dan hinggap pada rekaman di otak saya atas beberapa lomba yang saya lihat, saya ikuti, maupun saya dengar. Lomba yang menjadi buah bibir bukan karena gelora kompetisi sehat yang begitu terasa melainkan karena catatan kelam sebuah pengingkaran atas nilai-nilai sportifitas dan objektivitas. Lomba yang dikenang bukan karena proses dan hasilnya telah melewati tahap-tahap transparan dan elok dinikmati. Lomba yang hanya menyisakan prasangka dan praduga.

    Lelehan keringat yang membalur di muka dan sekujur tubuh-tubuh mungil itu sungguh membuat saya terpaku. Terpaku sekaligus malu karena sebagian diantaranya terjadi di masa lalu kala saya berada di dalamnya meski dalam posisi tak berdaya. Selebihnya, pengaturan hasil lomba, pemalsuan identitas dan usia peserta, dan aneka skenario kasat mata kerapkali menjadi menu yang memekakkan telinga.

    Pada sebuah kompetisi beberapa waktu lalu, saya membuatkan sebuah yel-yel untuk anak didik saya, yang saya gubah dari lagu daerah saya:
    ………………………
    Brang dumbrang dumbrang
    SDN Tanggeran datang
    Datang tuk berjuang tak peduli kalah menang
    Menang kami puas kalau kalah kami ikhlas
    Ikhlas hati tenang ikut lomba dengan senang

    ………………………
    Saya meyakini bahwa tujuan akhir kompetisi apapun di dunia pendidikan bukanlah kalah menang. Apalagi kala anak-anak yang dititipkan oleh orang tua mereka di sekolah untuk kita didik menjadi pesertanya. Kalaupun piala dan selembar piagam juara teramat berharga, dan mengalahkan nilai apapun, saya meyakini, harganya amat pantas bila diraih dengan cara-cara terhormat dan beradab. Dan bukan mengingkari norma-norma kejujuran, sportifitas, dan aneka norma mulia lainnya, yang kita doktrinkan sampai mulut berbusa di ruang-ruang kelas.

    Bila kompetisi telah benar-benar dilaksanakan sesuai namanya, sungguh, kemenangan tak ‘kan membuat lupa diri dan tinggi hati sebagaimana kekalahan yang semestinya bukan kemalangan yang patut untuk diratapi. Karena ia lebih menyerupai sebuah konsekuensi logis dari proses terhormat sehingga tidak menempatkan dua pecundang sekaligus: menang dengan menginjak orang lain dan kalah karena belum berkesempatan melakukannya.

    Tulisan ini didedikasikan untuk bocah-bocah mungil yang bermandi keringat di bawah sengatan terik matahari pada lomba tersebut. Teruslah bersemangat, Nak…. Teruslah pupuk semangat berkompetisi sehat. Jangan hiraukan kerisauan yang tertoreh dalam tulisan ini karena diantara secuil ketidakpatutan itu, masih banyak pendidik yang tetap kukuh memegang teguh norma-norma mulia yang mereka ajarkan di ruang-ruang kelas, seperti yang telah ditunjukkan oleh guru-guru PAUD/TK/RA di Hari Minggu itu.

    Tak lupa pula untuk si kecil Wafda, yang kini mulai mengenal dunia baru di sekolah dasar.

    Juga untuk anak-anak Indonesia di sudut bumi Allah SWT yang mana saja.
    ……………………….
    Meliuklah dengan suka cita
    Dalam rentangan tangan Sang Pemanah
    Sebab Dia mengasihi anak panah
    Yang melesat laksana kilat
    Sebagaimana dikasihi-Nya
    Busur yang mantap

    ……………………….
    (Kahlil Gibran: Anakmu bukan Anakmu)

    Paninggaran, Dinihari 20 Oktober 2011

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • DIBALIK TANGIS SYAFRUDIN, GURU HONORER MTsN 1 KOTA BIMA

    Terlihat menahan tangis, Syafrudin, Guru Honorer MTs Negeri 1 Kota Bima Nusa Tenggara Barat itu menelungkupkan wajah di tepi meja berbantalkan kedua tangannya. Entah menyembunyikan tangis atau berlindung dari sorot kamera wartawan, atau kedua-duanya, gambar itu menjadi penutup video berdurasi tiga menit satu detik tersebut. Bercampur aduk rasa di dada kala memutar ulang video yang saya download dari liputan6 tv itu sebelum akhirnya saya menerawang jauh. Mencoba berkelana ke titik awal peristiwa itu, hadir di ruang kelas dan menjadi Syafrudin.


    Sebagaimana diberitakan Yahoo News yang mengutip Liputan6.com, Sabtu pekan lalu, Khalid atas perintah Syahbudin, ayahnya, memukul Syafrudin gurunya sendiri. Pemukulan guru oleh murid ini terjadi di depan puluhan murid lain, sejumlah guru, dan tiga orang polisi. Syahbudin murka karena anaknya mengadu telah dipukul Syafrudin sehari sebelumnya. Sedangkan situs gomong.com mendeskripsikan kronologis peristiwa itu lebih detil:

    Aksi ini bermula dari pemukulan yang dilakukan Syafrudin terhadap siswa bernama Muhammad Andi Khairil Awalin. Pemukulan ini tidak bisa diterima oleh Syahbuddin, ayah dari siswa tersebut. Syahbuddin kemudian melakukan pembalasan dengan cara memukul guru tersebut di depan ruang kelas dihadapan guru, polisi dan siswa. Lebih hebat lagi, Syahbuddin memaksa anaknya untuk melakukan rekonstruksi pemukulan. Akhirnya Khairil memukul gurunya seperti yang dilakukan Syafruddin terhadap dirinya. MTsN 1 Kota Bima bukannya melakukan pembelaan terhadap Syafruddin, malah guru honorer ini dipecat dari sekolah.

    Guru: Masih Digugu lan Ditiru
    Guru, dalam terminologi Bahasa Jawa dikenal sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Digugu berarti didengarkan/dipatuhi (ucapannya) sedangkan ditiru artinya dicontoh/diteladani (perilakunya). Dalam artikel Guru: Masih Digugu lan Ditiru yang dimuat di situs LPMP Jawa Tengah dan kemudian saya publikasikan kembali di Blog SD Negeri Tanggeran, saya mencoba menggambarkan sosok tersebut:

    Digugu lan ditiru, itulah label yang dilekatkan padanya. Sosok yang digambarkan selalu mengajarkan norma dan nilai kebaikan serta menjadi penjaga gawang dalam pendidikan murid-muridnya. Juga wakil dari orang tua di sekolah. Kepadanyalah dititipkan harapan, diamanatkan segudang impian, dan tentu saja, disematkan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

    (Artikel lengkap pada kedua situs tersebut bisa dibaca DI SINI dan DI SINI).

    Terlepas dari apa yang sesungguhnya terjadi di sekolah itu, ada tiga hal yang menurut saya patut untuk digarisbawahi.

    Pertama, hubungan guru dan murid

    Guru, yang disebut sebagai pendidik dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 1 Undang-undang tersebut diartikan sebagai tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan sedangkan murid disebut sebagai peserta didik, yang bermakna anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

    Menurut Zakiah Darajat, seperti dikutip Muhammad Nurdin, sebagaimana ditulis dalam situs duniabaca, “Guru adalah pendidik profesional karena secara implisit ia telah memperoleh pendidikan profesi guru dan merelakan dirinya, menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikulkan oleh para orang tua. Para orang tua tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah berarti telah melimpahkan pendidikan anaknya kepada guru. Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka tidak mungkin menyerahkan anaknya ke sembarang guru, karena tidak sembarang orang menjadi guru.”

    Hubungan yang terjalin antara guru dan murid lebih populer disebut sebagai interaksi edukatif. Menurut situs UNS, proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma. Semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan. (lebih lanjut tentang interaksi edukatif dapat dibaca DI SINI).

    Sebagaimana diwartakan situs gomong.com, peristiwa tersebut bermula dari pemukulan yang dilakukan sang guru, Syafrudin, terhadap Muhammad Andi Khairil Awalin, muridnya. Apapun kesalahan Khairil, menurut saya, pemukulan Syafrudin terhadap muridnya itu tetap tak bisa dibenarkan. Pemberian hukuman oleh guru terhadap murid mestinya tetap dan selalu dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat dan bertujuan mendidik.

    Menurut situs tik-learning.com, seorang guru harus mampu mencari dan mendayagunakan berbagai metode agar yang akan menciptakan cara-cara mendidik yang efektif, menyenangkan dan manusiawi. Jika dengan berbagai cara tidak berhasil, penjatuhan hukuman pun hrus dilakukan dengan sangat hati-hati. Mengutip pendapat Dr. Charles Schaefer (1994), situs tersebut mengulas 13 prinsip memberikan hukuman kepada siswa. Selengkapnya bisa dibaca DI SINI.

    Kedua, hubungan guru dan wali murid

    Sejak bangku sekolah dasar, siswa didoktrin bahwa guru adalah orang tua di sekolah. Dalam posisi sederajat, dengan kapasitas masing-masing, kemitraan guru dan wali murid akan mempermudah upaya-upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, hubungan harmonis keduanya juga akan memicu rasa nyaman pada diri siswa.

    Dalam Kode Etik Guru, pada pasal 6 Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Murid terdapat poin-poin penjelas sebagai berikut: a) Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses pendidikan, b) Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik, c) Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya, d) Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpartisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan, e) Guru bekomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya, f) Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasi denganya berkaitan dengan kesejahteraan, kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan, dan g) Guru tidak melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

    Saya tidak tahu pasti penyebab ledakan amarah Syahbudin, sang wali murid. Apakah murni karena pemukulan guru atas anaknya, terulangnya peristiwa sebelumnya, ataukah sebab lainnya. Tetapi, sekali lagi, andaikata pemukulan sang guru terhadap muridnya benar terjadi, tak bisakah upaya penyelesaian secara baik-baik diutamakan? Selain sang guru yang terlihat berada di sekolah dan bukannya lari, di depan ruang telah berjaga dengan gagahnya tiga polisi terhadap segala kemungkinan (yang sayangnya masih saja berjaga dan tak kunjung melerai kala suasana semakin memanas).

    Di sebuah SD di wilayah saya, beberapa tahun silam, peristiwa sama tapi tak serupa terjadi. Berawal dari saling ejek antara seorang siswa dan siswi kelas 6, sebut saja Ani dan Andi, Ani pun menangis. Bergegas pulang kala istirahat ke rumahnya yang tak jauh dari sekolah, Ani pun mengadu pada ayahnya. Entah dengan bahasa apa Ani bicara pada ayahnya, dalam hitungan menit sang ayah menuju ke SD. Karena waktunya istirahat, semua guru tengah berkumpul di kantor dan secara kebetulan tak satu pun yang melihat ayah Ani menyelinap ke kantin di belakang SD, menemui Andi yang sedang menikmati minuman bersama teman-temannya. Dari cerita teman-temannya yang saya himpun kemudian, ayah Ani “menghadiahi” Andi dengan dua tamparan di pipi kiri dan kanan untuk kemudian merebut gelas minuman yang sedang Andi pegang dan….byurrrr….menumpahkan isinya ke muka Andi. Meski tak berada di lokasi, saya meyakini kalau muka Andi bukan hanya basah kuyup tetapi juga memerah oleh tamparan sekaligus malu yang menderanya.

    Beberapa saat kemudian, kala jam pelajaran telah kembali normal dan beritanya telah sampai kepada para guru, saya pun menunaikan salah satu tugas guru PAI sebagai “pemadam kebakaran”. Sebagai satu-satunya guru kelahiran desa setempat, saya paham betul kemungkinan yang akan terjadi kalau keluarga dan saudara Andi sampai mengetahui musibah yang menimpa Andi. Sebaliknya, berurusan dengan ayah Ani yang saya tahu betul karakternya, juga bukan perkara kecil. Mendamaikan keduanya sembari memberikan pelajaran panjang lebar tentang toleransi dan ukhuwah islamiyah di kelas saya pilih sebagai jalan tengah. Dan alhamdulillah, sampai keduanya lulus, saya tak mendengar peristiwa serupa terulang kembali.

    Ketiga, hubungan guru dan guru lainnya (termasuk kepala sekolah)

    Masih segar dalam ingatan saya kala masa-masa awal saya menjalani tugas sebagai guru tidak tetap (GTT) atau di tempat tinggal saya lebih populer disebut sebagai guru WB (singkatan dari Wiyata Bhakti) alias guru pengabdian. Satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah adanya bentangan jarak antara GTT, selanjutnya saya sebut guru non-PNS, dengan guru PNS. Tak semua, memang. Tetapi, berdasarkan pengalaman pribadi dan dari jalinan komunikasi, sebagian besar rekan-rekan guru non-PNS yang bertugas di sekolah negeri membenarkan hal tersebut. Penyebabnya bisa beragam mulai dari kehadiran guru non PNS yang tidak dikehendaki oleh guru PNS sampai masih suburnya persepsi keliru bahwa karena masih dalam taraf pengabdian, guru non-PNS mesti bekerja lebih rajin dan lebih keras dibandingkan guru PNS yang lebih senior dari sisi usia dan masa kerja. Pada saat yang bersamaan, persepsi tersebut menimbulkan efek samping: kecemburuan sosial.

    Di forum lomba blog yang diselenggarakan oleh BPTIKP Jawa Tengah pertengahan September 2011 kemarin, sebuah pembenaran atas hal tersebut kembali saya jumpai. Dalam acara yang mempertemukan 35 admin blog sekolah jenjang Dikdas se-Jawa Tengah yang lolos ke tahap dua, seorang admin blog muda menceritakan kisah pilunya. Dalam perbincangan santai di ruang tamu tempat kami menginap, admin blog sebuah sekolah di sebuah kabupaten wilayah Barat Jawa Tengah itu menuturkan kalau di sekolahnya, dia bukan hanya dipandang sebelah mata malah seringkali tidak dipandang alias (meminjam istilah anak muda) nggak dianggap.

    “Di tempat saya, Guru non-PNS menempati kasta terendah” tutur guru energik tersebut. Meski kurang setuju dengan istilah kasta terendah, Insya Allah saya memahami betul pesan yang ingin disampaikan. Di akhir perbincangan, saya menyampaikan teori yang selama ini saya anut bahwa semiring apapun anggapan orang (baca: guru PNS) tentang guru non PNS, jangan biarkan hal itu mengganggu atau bahkan merusak semangat dan kinerja. Dalam bahasa Penelitian Kuantitatif, saya sampaikan sebuah hipotesis: Fakta absolut yang membedakan guru PNS dan non PNS adalah nominal gaji. Lainnya, semisal kinerja, kemampuan, dan prestasi kerja, sangat tergantung dari kemauan, bukannya status kepegawaian.

    Pada tataran hubungan harmonis antarguru dan antara guru dengan kepala sekolah, pola kepemimpinan kepala sekolah, menurut saya, memberikan andil yang tidak kecil. Figur kepala sekolah akan sangat mempengaruhi penciptaan iklim kerja yang kondusif, lentur terhadap ide dan kritik, dan kaya akan nuansa kekeluargan. Peran vital kepala sekolah bukan hanya bagaimana ia mampu menahkodai seluruh warga sekolah dalam mencapai dermaga tujuan sebagaimana tercermin dalam visi dan misi sekolah serta mengoptimalkan segenap sumber daya yang dimilikinya, namun juga dalam mengelola konflik.

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah menegaskan bahwa kepala sekolah mesti memiliki kemampuan lebih dalam Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi, Sosial. Dalam dimensi kepribadian, kompetensi yang diharapkan dimiliki kepala sekolah antara lain Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah dan Mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah madrasah. Dalam dimensi Manajerial, kompetensi yang dituntut adalah Menciptakan budaya dan iklim sekolah/ madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik sedangkan salah satu kompetensi dalam dimensi kompetensi sosial yaitu memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.

    Dalam video kasus Syafrudin, adegan awal terlihat terjadi di kantor atau ruang guru. Kecuali Syafrudin yang tampak duduk, beberapa sosok yang terekam kamera terlihat berdiri. Sempat menangkap gambar angkat meja oleh Syahbuddin, ayah Muhammad Andi Khairil Awalin, yang didahului adu mulut, kamera berpindah pada Syafrudin yang tampak kesakitan dan menangis. Kecuali saya salah, saya tidak melihat adanya suasana semacam rapat klarifikasi dimana semua pihak duduk rapi dengan kepala sekolah menjadi mediator. Gambar berikutnya, sang guru malang digelandang ke ruang kelas untuk selanjutnya menjadi objek pemukulan dan penghinaan, di depan para siswa dan guru lainnya. Seorang laki-laki, yang saya duga kepala sekolah atau perwakilan sekolah, memberikan komentar mengiringi narasi tanggapan pihak sekolah. Vonis dijatuhkan: Syafrudin akan dinon-aktifkan dalam waktu dekat.

    Sebuah kemalangan beruntun. Sudah tak mendapat perlindungan terhadap serangan fisik, hukuman penonaktifan tampak nyata di depan mata.

    Semoga tindakan penonaktifan Syafrudin tidak dilandasi oleh pemikiran sempit bahwa beliau hanyalah guru honorer yang belum memiliki Kartu Pegawai/Karpeg dan di baju seragamnya belum tersemat pin KORPRI sehingga belum (layak) memperoleh perlakuan dan perlindungan sebagai abdi negara. Karena, bagi saya, apapun status kepegawaiannya, semua guru memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam berkontribusi turut mencerdaskan anak bangsa sedangkan sebagai warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, setiap guru pun layak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan sebagaimana warga negara lainnya.
    Membiarkan sebuah tindakan main hakim sendiri terhadap guru terjadi di sekolah (dan di ruang kelas) yang menjadi tempat diajarkannya aneka norma mulia bukan hanya sebuah pengingkaran atas hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 tetapi, menurut saya, juga merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang kontraproduktif dengan definisi dan tujuan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

    Melihat tayangan Muhammad Andi Khairil Awalin memukul gurunya, Syafruddin, atas perintah Syahbuddin ayahnya, dengan “doa restu” guru-guru lainnya, di bawah tatap mata siswa lainnya, di ruang kelas yang berjarak ratusan kilometer dari tempat saya menyaksikan video itu, sungguh rasa sakit dan malu yang tak terperi seakan turut saya rasakan. Kalaupun pemukulan yang dilakukan Syafrudin terhadap Muhammad Andi Khairil Awalin sehari sebelumnya benar-benar terjadi, tak bisakah petinggi sekolah mengedepankan asas musyawarah dan praduga tak bersalah serta menjunjung tinggi norma dan etika pendidik yang mengajarkan aneka perilaku terpuji sampai mulut berbusa di ruang-ruang kelas?

    Akhirnya, mari kita sikapi tragedi dunia pendidikan tersebut dengan bijak. Kala kecepatan akses informasi dan komunikasi telah menembus sekat ruang dan waktu, semestinya guru pun semakin berhati-hati dalam bersikap, berperilaku, dan memperlakukan murid-muridnya. Sesekali, intiplah sms yang dimuat di kolom suara warga dan tulisan di kolom surat pembaca dalam media cetak atau ruang sejenis di media online. Meski kerapkali baru berbentuk pengaduan yang terkadang masih memerlukan konfirmasi, tulisan sejenis itu menunjukkan betapa mudahnya akses bagi masyarakat pengguna layanan pendidikan dalam menyuarakan aspirasinya.

    Semoga kisah pilu Pak Guru Syafrudin dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • BELAJAR DARI "LASKAR PELANGI"

    Enam tahun mengenyam pendidikan SD, enam tahun di tingkat menengah dua tahun pada jenjang diploma, dan sekarang pada semester dua jenjang strata satu, mempertemukan saya dengan beragam rupa, cara, dan metode pengajaran guru. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, hampir semuanya menjadi sumber inspirasi dan referensi manakala kini harus berganti posisi: hijrah dari murid menjadi guru.

    Baru lima tahun menjalani profesi bertitel Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini, saya menyadari, betapa tidak mudahnya menjadi seorang guru. Dengan jam terbang yang masih sangat sedikit tersebut, betapa sulitnya mengajarkan aneka norma dan nilai mulia di depan kelas dan pada saat yang bersamaan profesi itupun menuntut saya untuk mempraktikkannya. Manakala mendapati siswa yang bandel, tidak mengerjakan PR, dan aneka tingkah laku yang membuat saya menghela napas panjang, saya merasa sedang memutar mundur jarum jam ke titik sekian waktu manakala saya duduk di bangku itu, dulu.

    Dalam setiap pertemuan di kelas, rata-rata siswa SD menempuhnya dalam waktu 2 x 35 menit untuk dua jam pelajaran. Itu berarti 70 menit alias 1 jam 10 menit. Saya sendiri sudah tidak terlalu ingat bagaimana persisnya dulu saya melewatkan waktu sepanjang itu dalam mengikuti pelajaran. Yang saya ingat, ada pelajaran yang saya ikuti dengan sepenuh hati karena bagi saya, dan juga teman-teman, gurunya menyenangkan karena jarang marah, seringkali membuat kami tertawa, dan tidak membuat tangan kami pegal-pegal karena terlalu sering menulis. Dan ada juga pelajaran yang saya ikuti dengan perasaan sebaliknya seraya menggerutu, mengapa bel tanda istirahat tak juga berbunyi.

    Maka, sulit saya bayangkan dalam situasi nyata ketika sosok-sosok mungil tak berdosa, yang sejak awal mereka masuk sekolah telah diperkenalkan bahwa guru adalah orang tua di sekolah, kemudian mesti mendapati kenyataan sebaliknya: sosok-sosok angker nan mengerikan yang menebarkan teror dan ketakutan dengan kalimat-kalimat bernada ancaman atau bahkan hukuman-hukuman fisik di luar batas kewajaran. Lebih tragis lagi, berperilaku amoral dan asusila. Masya Allah.

    Jendela kelas dan aneka bentuk ventilasi lainnya, yang didoktrinkan di buku pelajaran sebagai sarana pertukaran udara yang menyehatkan, menjelma menjadi terali besi yang memisahkan mereka dengan ruang bebas di luar sana. Gerak jarum jam dinding usang di atas papan tulis serasa amat lambat. Bunyi bel tanda istirahat atau pulang adalah suara ketukan palu hakim dengan vonis bebas.

    Saya tak bermaksud mendramatisir suasana. Sama sekali tidak. Saya hanya mengingat sebuah momen kala Ilzama Maula Wafda Sabila, putri saya, yang saat itu berusia empat tahun (kini berumur lima tahun enam bulan) memporak-porandakan kertas kerja di meja komputer pada suatu hari. Reflek, saya berkata ”Jangan!” dengan nada yang lumayan tinggi. Masya Allah, dalam beberapa detik, saya saksikan efek yang amat dahsyat. Si Kecil bergegas menghambur ke pelukan ibunya, dan sesaat kemudian saya mendengar isak tangis yang tertahan. Tersadar, saya segera memburunya, mencoba mengelus bahunya seraya meminta maaf atas ketidaksengajaan tadi. Tetapi, bahasa tubuhnya menunjukkan penolakan dan tangisnya semakin menjadi. Setelah tangisnya mereda, ia masih membutuhkan waktu beberapa waktu sebelum kembali mendekati saya di meja komputer untuk kemudian kembali ceria seperti tak pernah terjadi apa-apa.

    Maka, membayangkan situasi di kelas dimana menit demi menit berlalu dalam cekaman ketakutan, pergantian mata pelajaran demi mata pelajaran yang tidak menyisakan apapun selain tambahan tugas dan PR hukuman, serta lontaran kalimat-kalimat yang sangat tidak nyaman didengar, sungguh membuat dada saya sesak. Dada saya semakin terasa sesak ketika media massa mengabarkan tentang hukuman fisik terhadap siswa yang menurut saya jauh dari tujuan mendidik. Apalagi ketika calon-calon pelaku sejarah itu diberitakan mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari gurunya. Mereka? Anak-anak kecil itu? Ah.....

    Meski kasus-kasus tersebut adalah insidental, yang sangat-sangat tidak bijak dan jelas tidak bisa digeneralisasi bahwa semua guru juga berperilaku dan melakukan hal yang sama, setidaknya kita tahu bahwa hal tersebut ada, sungguh-sungguh terjadi, dan benar-benar hadir sebagai sebuah mimpi buruk dunia pendidikan.

    Kita sadari bersama, ada kondisi-kondisi ideal yang belum terwujud. Ada keadaan yang belum sesuai harapan. Masih ada (atau mungkin banyak) Guru Wiyata Bhakti/Pengabdian yang menerima honor jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Masih ada dikotomi PNS-Non PNS. Belum semua gedung sekolah mendapat penanganan maksimal. Mungkin juga ”Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan” sebagaimana dideskripsikan oleh Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi halaman 17. Gambaran kondisi SD Muhammadiyah di Belitong, pelosok Sumatera Selatan dalam buku bestseller yang pada Bulan Oktober 2007 telah cetak ulang kesepuluh dan pada Bulan Desember 2007 kembali naik cetak yang kelima belas tersebut belumlah utuh, karena sekolah itu ”.... Tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan”. (hal. 18). Ruang kelasnya? ”Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu" (hal. 19).

    Bagaimana dengan gurunya? SD tersebut memiliki dua orang guru. Pertama, Pak Harfan. Nama lengkapnya: Harfan Efendy Noor. Sebagai Kepala Sekolah, Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Di hari pertama tahun ajaran baru, Pak Harfan ”... mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci.” (hal. 21).

    Guru kedua, Bu Muslimah Hafsari atau Bu Mus, yang ”...diupah beras 15 kilo setiap bulan”. Setelah mengajar, ”...beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.” (hal. 30).

    Sekarang, lihatlah potret murid-muridnya. Satu diantara sepuluh murid kelas satu adalah Lintang, si jenius yang pulang pergi naik sepeda; melewati jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer. Setibanya di sekolah, tercium bau hangus dari alas kakinya, yaitu ”...sandal cunghai, yaitu sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.” (hal. 11)

    Mungkin deskripsi tersebut mewakili kondisi riil wajah mengenaskan sarana dan prasarana pendidikan di beberapa wilayah Nusantara. Memilukan? Ya. Tapi, tunggu dulu. Dari ruang kelas yang tak punya kotak P3K itu, lihatlah bagaimana murid-murid, yang terwakili oleh aku, menggambarkan guru-gurunya. Bu Mus, misalnya, adalah ”seseorang yang bersedia menerima kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya.” Sedangkan Pak Harfan: ”...tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal ”guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi yang juga secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya.” (hal. 24)

    Dengan minimnya fasilitas, kita bisa membayangkan prosesi kegiatan belajar mengajar (KBM) setiap harinya. Tapi, di tangan kedua guru yang menjadi ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan (hal. 32), lahirlah kedahsyatan-kedahsyatan yang semestinya membuat kita; yang telah, tengah, dan masih saja meratapi aneka kekurangan yang didalilkan sebagai penyebab ketiadaan prestasi, menurunnya dedikasi dan etos kerja; malu. Lihatlah Lintang, yang begitu bersemangat mengikuti pelajaran sampai ia pun berteriak: ”Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya, maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga!” manakala Bu Mus mengatakan bahwa ilmu tafsir baru akan diajarkan di kelas dua SMP. (Hal. 111).

    ”Aku merasa telah terselamatkan karena orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ’kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain. .....” (Hal. 25) Itulah kesan pertama sang aku di hari pertama pelajaran, manakala Pak Harfan menerangkan tentang Perang Badar, dimana tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata lengkap; dan tentang perjuangan para penegak Islam lainnya. ”Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil resiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.” (hal. 23).

    Manakala Pak Harfan harus mohon diri karena jam pelajaran telah usai, aku pun berbisik kecewa ”....Satu jam dengannya terasa hanya satu menit....” (hal. 25).

    Membaca kalimat terakhir, tengkuk saya mendadak terasa dingin. Sangat dingin. Andaikata mampu, saya ingin menelusup ke relung hati murid-murid saya manakala saya mengucapkan salam untuk mengakhiri pelajaran. Ingin saya baca dari hati mereka kalimat pengantar yang mengiringi kaki saya meninggalkan kelas.

    Apakah mereka membisikkan kata-kata serupa? Atau sebaliknya: satu menit dengannya terasa satu jam? Apakah mereka terburu-buru berangkat sekolah karena merindukan celotehan saya di depan kelas, ataukah karena mereka ngeri atas hukuman fisik karena keterlambatan? Dan manakala saya kembali memasuki kelas keesokan harinya, apakah hati mereka bersorak girang karena bertemu lagi dengan kakak sekaligus sahabat yang mendampingi mereka dengan simpati, empati dan keramahan sepenuh hati; ataukah mereka sesungguhnya menunjukkan kepatuhan semu karena di depan mereka berdiri dengan angkuhnya sosok angker yang menebarkan teror dan ketakutan?

    Dipublikasikan di Blognya SD Negeri Tanggeran pada 11 Juli 2010
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • previous home