Ketika Aku di Rumah Sendiri

Saat di rumah sendiri baru aku tahu betapa repotnya ditinggal istri. Betapa tanpa anak-anak dunia seperti berhenti. Cuma hendak mencari gelas minuman saja tiba-tiba begitu susahnya. Setelah investigasi kesana-kemari oo, baru ketemu barang itu ternyata ada di situ. Aku terancam terasing di rumah sendiri, karena setiap sudut tidak lagi aku akrapi. Seluruh rumah ini rasanya sudah menjadi daerah kekuasaan istri.


Itulah kenapa setiap aku kebingungan mencari sesuatu, selalu ketemu dengan mudah jika istri datang membantu. Jangankan barang-barang yang sudah generik seperti anak kunci, pisau dapur, gunting dan kuas cat, bahkan mencari kaos dan celana dalam sendiri saja hampir-hampir aku tidak mandiri. Selalu kebingunan jika harus mencari sendiri. Instink pencarianku terhadap barang-barang di rumah nyaris lumpuh. Ini pasti bukan karena instink itu tak lagi kumiliki. Semua ini pasti karena kemanjaanku yang keterlaluan di hadapan istri dan anak-anak. Bahkan untuk mendekatkan gelas minuman pun, bahagia rasanya jika mereka yang melakukannya.

Kini, ketika aku di rumah sendiri, kemanjaan itu benar-benar menuai karma. Saat perut mulai kelaparan, aku mulai mencari-cari. Pertama mencari apa yang gampang untuk di makan. Tidak mudah ternyata, karena meskipun makanan itu ada, tetapi selera ini tetap tak mudah dijinakkan begitu saja. Setidaknya saya butuh mi panas untuk mengatasinya. Meskipun keadaan darurat, tetapi lidah harus tetap dimanja. Itulah kesalahan saya.

Karena untuk mencari letak mi itu berada, ternyata sudah menyita waktu dan tenaga. Setelah mi ketemu, kompor harus dinyalakan. Di mana tombol kompor celaka itu, susah benar menemukannya. Dan ketika ia sudah ketemu malah menyisakan kebingungan ekstra. Ini harus ditekan atau diputar. Atau ditekan dulu baru diputar. Atau ditekan dan diputar secara bersama-sama. Ketika api benar-benar menyala, hampir saja aku berteriak gembira jika tak segera sadar, bahwa ini baru langkah pertama. ‘’Kerja belum selesai, belum apa-apa,’’ seperti kata Chairil Anwar dalam sajaknya.

Karena selanjutnya saya sudah harus butuh panci. Mencari panci yang cocok ternyata juga sulit sekali. Akhirnya panci apa saja aku tak peduli, walau yang kutemukan itu adalah sebuah panci raksasa yang lebih cocok untuk memasak di dapur umum bagi korban gempa. Padahal yang kuperlukan sekadar untuk menjerang sebungkus mi. Tetapi di zaman darurat jangan penuh syarat. Sekali dayung, kapal harus menuju pelabuhan. Panci segera kuoperasikan. Celakanya prosedur memasak juga tak lagi kusadari. Benda itu kutaruh di perapian dalam keadan kosong karena kupikir air akan segara kuguyurkan. Tetapi di mana letak air itu berada? Sialan, nyelip di sana.

Memang akhirnya kutemukan. Tetapi panci yang malang itu telah mengepul kegerahan dengan aroma aluminum gosong. Keringat mulai merembes di tengkukku dan kelaparan ini sudah pelan-pelan berganti kejengkelan. Tetapi intinya, aku memang berhasil mengatasi kelaparan darurat itu tetapi dengan sebuah perjuangan yang tidak pernah kubayangkan. Semuanya ini kusadari semata-mata karena istri tak ada. Ketergantunganku kepadanya sudah sampai pada taraf keterlaluan dan belum kuputuskan, ini termasuk berkah atau musibah.

Usai berkeringat hasil makan mi sambil kepanasan, aku kegerahan dan mandi adalah soal yang aku bayangkan kemudian. Tetapi aduh, air di bak mandi itu tinggal sedikit sekali dan kotor pula keadaannya. Aku tahu, itulah air yang sengaja dibiarkan oleh istri dengan maksud hendak dikuras nanti. Aku menatap genangan air itu sambil termangu. Betapa lama aku sudah tidak lagi mengerjakan pekerjaan ini; menguras bak mandi. Tersering memang istriku dan aku tingal mandi dalam keadaan air melimpah dengan kebeningan yang menyulut gairah. Telah begitu lama aku hanya terbiasa mandi tetapi tak lagi suka menguras baik mandi. Sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi semacam konvensi: pekerjaan itu telah menjadi tugas istri. Entah kebaikan apa yang melintas di benakku saat itu, aku ingin menghadiahi istri dengan kado kecil itu: biarlah ia pulang sambil melihat pekerjaannya telah aku beresi.

Bak mandi itu aku kuras sambil bernyanyi, akan kusediakan air yang bersih dan melimpah untuknya, tepat ketika ia pulang dalam keadaan lelah dan gerah. Pulang lelah, sambil masih membayangkan menguras kolah, pasti sebuah musibah. Belum pernah aku menunggu istri pulang dengan perasaan setegang ini. Dan ketika ia datang, lampu kamar mandi kunyalakan, air yang penuh dan bersih itu kuperlihatkan. Istriku berteriak dengan kegembiraan yang nyata. Sementara perasaanku saat itu, seperti Donlad Trumph yang menghadiahi istri mudanya cincin berhias permata.

Sumber

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home